JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra mengungkapkan beban berat yang ditanggung oleh hakim konstitusi akibat revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Ia menambahkan beban berat muncul ketika MK memutus perkara yang tidak diterima logika masyarakat. Asumsi tersebut berkembang bahwa revisi UU MK menjadi titik negosiasi antara MK dengan pembentuk undang-undang. Untuk itu, Saldi meminta DPR memberi penjelasan yang sebenarnya bahwa tidak ada keterlibatan hakim konstitusi dalam revisi UU MK tersebut
“Tujuh hakim konstitusi diuntungkan dengan berlakunya undang-undang ini. Saya termasuk orang yang paling banyak diuntungkan, sudah diselamatkan umur belum 55 (tahun) itu di ketentuan peralihannya. Sehingga Pak Taufik Basari dan Pemerintah paham betul, kami, Mahkamah Konstitusi, di-bully dimana-mana karena undang-undang ini. Karena itu, Pak Taufik Basari dan Pemerintah tolong dijelaskan betul kepada kami, apakah kami ini terlibat dalam proses ini? Karena ada beban berat yang ditanggung Mahkamah Konstitusi, setiap kami memutus yang tidak sesuai dengan logika sebagian masyarakat dianggap bahwa undang-undang ini menjadi titik negosiasinya. Tolong diberikan penjelasan terkait dengan itu karena kami sudah berusaha memutus sesuai dengan pertimbangan dan segala macamnya. Tetapi kami dituding juga bahwa undang-undang ini seperti permen yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada MK,” papar Saldi dalam sidang untuk Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020, 96/PUU-XVIII/2020, dan 100/PUU-XVIII/2020.
Menurut Saldi, DPR menggunakan beberapa putusan MK sebagai landasan revisi UU MK, di antaranya Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 34/PUU-X/2012, Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013, dan lainnya. Akan tetapi, ia menyayangkan DPR tidak mendasarkan pada Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016. Ia menilai kritik terhadap MK tidak akan terjadi jika perubahan ditujukan untuk hakim konstitusi baru yang terpilih ke depannya setelah UU a quo berlaku. “Apa alasannya DPR dan Pemerintah memberlakukan undang-undang ini terhadap hakim konstitusi yang masih eksis sekarang ini?” tanya Saldi.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menegaskan tidak adanya kongkalikong antara DPR dan MK. Menurutnya, selama terlibat langsung dalam pembahasan RUU MK, tidak pernah ada upaya yang mengatur sedemikian rupa untuk menguntungkan hakim konstitusi.
“Anggapan bahwa undang-undang sebagai permen, saya sudah sampaikan kepada teman-teman bahwa tuduhan tersebut adalah tuduhan yang keji yang membuat seolah muruah MK biasa digadaikan demi sebuah jabatan. Hal ini tidak baik karena seharusnya kita menjaga muruah MK,” tegas Taufik dalam sidang yang digelar pada Senin (9/8/2021) siang tersebut.
Baca juga: Syarat Usia Hakim Konstitusi Diuji
Masuk Prolegnas
Dalam keterangannya mewakili DPR, Taufik juga menyampaikan bahwa status resmi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) adalah rancangan undang-undang (RUU) kumulatif terbuka dan masuk dalam prolegnas karena telah memasuki daftar inventarisasi masalah (DIM) pada tahun sebelumnya dan telah pula memenuhi syarat carry over. Selain itu, RUU MK telah memenuhi kajian, analisis, naskah akademik, serta maksud dan tujuan dari pengusulannya.
Lebih lanjut Taufik menyampaikan bahwa RUU Perubahan Ketiga ini berdasarkan pada kejelasan tujuan, kesesuaian hierarki, materi muatan, dan keterbukaan. Sehingga, lanjut Taufik, semua dari UU a quo dapat diuji, baik formil maupun materilnya. Lalu, Taufik juga menyebutkan proses pembentukan UU MK telah memenuhi tahapan perencanaan, penyusunan, penetapan, dan pengundangan.
Penyusunan RUU MK telah dilakukan sejak 30 Oktober 2019 dengan mengirimkan draf pada komisi dan anggota fraksi terkait. Selain itu, penyusunan RUU MK telah pula mengikutsertakan pendapat dari masyarakat, seperti pusat studi hukum, komnas perempuan, dan lainnya. Singkatnya, Taufik mengatakan memasuki tahap pembahasan pada 11 Juni 2020, Presiden mengirim surat untuk diadakan rapat dengan agenda membahas RUU MK.
“Maka hasil rapat yang dipimpin oleh Komisi III pada 24 Agustus 2020 dilakukan rapat kerja dengan agenda penjelasan tentang RUU MK Perubahan Ketiga. Kemudian pengesahannya dilakukan pada 1 September 2020 dan selanjutnya diundangkan menjadi UU MK Perubahan Ketiga pada 9 September 2020,” terang Taufik yang merupakan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem.
Baca Juga: Sejumlah Peneliti dan Dosen Uji Formil Pembentukan UU MK
Puncak Pengabdian Hakim
Berikutnya, Taufik juga menyampaikan keterangan sehubungan dengan materi dalam UU MK yang dilakukan perubahan. Menurut DPR, perubahan dilakukan dengan formulasi, di antaranya mengenai masa jabatan hakim dan tata pemilihan Ketua MK. Hasil dari evaluasi DPR RI terhadap hal ini untuk mendukung optimalisasi MK. Bahwa syarat bagi hakim MK dengan dipilihnya alasan 70 tahun sebagai masa akhir jabatan seorang hakim konstitusi didasarkan atas masa purnabakti dan kalkulasi usia minimum, masa jabatan, pengalaman, dan karier dari seorang hakim.
“Sehingga maka batas usia minimal menjadi 55 tahun dan maksimal pada 70 tahun didasarkan bahwa menjadi hakim MK adalah puncak pengabdian bagi hakim, yang merupakan negawaran. Sehingga pengabdiannya itu akan berakhir pada masa purnabaktinya,” jelas Taufik.
Kemudian Taufik melanjutkan bahwa ketentuan yang telah dipilih tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan desain masa jabatan hakim. Oleh karena itu, DPR menilai memiliki keterkaitan antara skema masa jabatan dengan tata cara pemilihannya. Oleh karenanya, menjadi hakim konstitusi adalah puncak masa pengabdian seorang hakim, sejak ia terpilih hingga kemudian berakhir pada usia purnabakti.
“Kebijakan perubahan desain masa pengabdian hakim di MK yang awalnya periodisasi dan kemudian menjadi masa purna bakti. Sehingga seorang hakim akan menjadikan pengabdiannya sebagai pengabdian tertinggi bagi bangsa dan negara,” kata Taufik yang menyatakan terlibat langsung dalam pengajuan perubahan UU a quo.
Periodisasi menjadi Masa Pensiun
Pada kesempatan berikutnya, Majelis Hakim juga mendengarkan keterangan dari Kuasa Presiden yang disampaikan oleh Dhahana, selaku Staf Menteri Hubungan Antarlembaga Kemenkumham RI. Dalam keterangan yang dibacakan, Perubahan Ketika UU MK yang mengatur perubahan sistem periodisasi masa jabatan hakin menjadi sistem masa pensiun adalah terkait dengan pengaturan hak dan kewajiban hakim MK. Sehingga, dalil para Pemohon terhadap norma ini tidak beralasan. Sebab, pada norma yang diujikan tidak mengatur hak para Pemohon yang berprofrsi sebagai dosen, pengajar, advokat, dan lainnya.
“Yang memiliki keterkaitan dalam hal ini adalah hakim-hakim MK karena ada kewenangannya merasa dirugikan dari sistem periodisasi ke pensiun ini. Maka para Pemohon tidak punya kewenangan uji formil terhadap UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki legal standing atas perkara ini,” kata Dhahana.
Sementara itu, terkait dengan pengujian materil UU MK ini, Pemerintah berpendapat bahwa pembentuk UU diberikan kewenangan untuk mengubah sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Termasuk pula dengan mengubah masa jabatan hakim MK dari periodisasi menjadi masa pensiun. Dalam pandangan Pemerintah, hal ini semata-mata ntuk peningkatan jaminan hakim agar dapat melakukan kewenangannya secara baik.
“Selain itu, ketetnuan ini dapat memberikan penguatan pada hakim agar lebih menguasai bidang konstitusi dalam fungsi ketatanegaraannya. Sehingga norma ini justru memberikan kepastian hukum karena para Pemohon. Sebab, jika dapat memenuhi syarat-syarat menjadi hakim maka dapat memperoleh kesempatan yang sama menjadi hakim konsititusi,” sampai Dhahana.
Sebagaimana diketahui, Pemohon perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pemohon menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Pemohon berpandangan bahwa proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Pemohon menilai ketentuan yang ada pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terkait perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata. Bahkan menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Priyanto yang berpprofesi sebagai advokat. Ia mendalilkan Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Menurutnya, pada norma tersebut telah mengubah persyaratan mejadi hakim konstitusi dai usia minimal 47 tahun menjadi 55 tahun dan tanpa adanya batas usia maksimal. Selain itu, pada norma ini juga termuat sedikit perubahan terkait dasar sarjana strata satu yang berlatar pendidikan bidang hukum. Sebelumnya persyaratanini diperuntukkan baik strata satu maupun magister pun harus berlatar belakang bidang hukum. Dalam pengakuan Pemohon, dirinya bermaksud untuk menjadi Hakim Konstitusi mengingat dirinya memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Namn dengan adanya perubahan UU MK ini, maksud dari Pemohon terkendala dan bahkan tidak mungkin terwujud nantinya.
Berikutnya, Pemohon Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon mengatakan jika pembentuk undang-undang telah melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over karena pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut Pemohon, revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid. Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul. Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman mengumumkan persidanagn berikutnya akan digelar pada Selasa, 24 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari 3 orang Ahli yang dihadrikan Pemohon Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020. (*)
Penulis : Sri Pujianti/Lulu A.
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Raisa/Fitri/Halim