JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/7/2021) pagi. Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XIX/2021 diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, kuasa hukum pemohon Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Para pemohon mengatakan bahwa prinsip conscientious objection pada dasarnya merupakan implementasi dari Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan juga Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICPPR), yang telah disahkan dalam hukum nasional Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang materinya mengatur perihal kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama, yang juga merupakan perintah dari Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa dalam permohonan Pemohon belum terdapat penjelasan yang bersifat urgen apabila Pemohon meminta putusan sela.
“Mahkamah atau saya selaku hakim panel belum mendapat penjelasan yang sangat urgen atas permohonan permintaan dari Pemohon untuk melakukan putusan sela, putusan provisi untuk menunda undang-undang ini. Dasarnya adalah kalau ini kita tunda pelaksanaannya ada situasi yang memungkinkan terjadinya kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan. Padahal sekarang ini adalah situasi dan kondisi baik nasional maupun kondisi global masih dalam kondisi yang tidak menentu. Pandemi covid 19 berakibat pada situasi yang tidak menentu baik di tataran nasional maupun global,” ujar Arief saat memberikan nasihat kepada para pemohon.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para pemohon untuk memperkuat argumen legal standing. “Coba nanti dicermati kembali yang memberikan kuasa atau yang mengajukan permohonan dalam perkara ini benar-benar sudah sesuai dengan amanat yang ada dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Meskipun dalam permohonan sudah dijelaskan AD/ART tetapi saya hanya mengingatkan jangan nanti setelah dicermati Mahkamah ternyata tidak match akhirnya tereliminir karena tidak mempunyai kedudukan hukum,” kata Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan pada Pemohon diberi waktu 14 hari sejak sidang pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan perbaikan pada permohonannya.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
https://youtu.be/7igN-H1njCU