JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) terhadap UUD 1945 pada Kamis (17/06/2021) secara daring. Permohonan teregistrasi dengan Nomor 24/PUU-XIX/2021. Permohonan ini diajukan oleh Calvin Bambang Hartono.
Pemohon merupakan salah satu debitur Bank Swasta di Indonesia, yakni PT. Bank Bukopin dengan mendapatkan kredit/pinjaman dengan jaminan tanah dan bangunan yang kredit/pinjaman tersebut diikat dengan akta Perjanjian Kredit. Atas kredit/pinjaman yang diikat dengan akta Perjanjian Kredit oleh Bank Bukopin tersebut, namun adanya obyek Tanah dan Bangunan luas 538 M2 dengan 5 Sertifikat Hak Milik Nomor 189/Desa Panjangjiwo atas nama Tjandra Liman sebagaimana dimaksud angka 2 (dua) huruf (b) sampai saat ini belum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas pemberian kredit/pinjaman dimaksud.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Agoes Soeseno selaku kuasa hukum mengatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU PKPU tidak memberikan ruang kepada seseorang atau badan usaha dan badan hukum yang telah dinyatakan pailit. Padahal sebelumnya Pemohon telah melakukan upaya-upaya hukum terkait dengan perkara-perkara yang sedang dihadapi.
“Kami juga merasa kepailitan yang sedang dihadapi oleh pemohon adanya suatu ketidakadilan karena pemohon tidak merasa adanya hutang piutang namun ada putusan kepailitan. Sehingga kami menguji Pasal 31 ayat (1) agar dilakukan uji materi bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UU,” ujar Agoes.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa “Putusan Pernyataan Pailit Berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur” sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut permohonan Pemohon lebih banyak didasarkan pada kasus konkret. Untuk itu, Arief menyarankan agar Pemohon memperkuat kedudukan hukum dan alasan permohonan bahwa pasal a quo merugikan hak konstitusional Pemohon. Ia juga meminta posita diperkuat dengan argumentasi yang menjelaskan adanya pertentangan antara pasal yang diujikan dengan UUD 1945.
“Apakah lebih ditekankan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama? Dimana letak pertentangannya karena bukan hanya semata-mata didasarkan pada kasus konkret,” urai Arief memberikan nasihat perbaikan.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon memperjelas argumentasi bahwa sita umum harus dipisahkan untuk kasus kepailitan tertentu. “Beri bangunan argumentasi kepada Mahkamah, teori apa yang bisa memisahkan karena sifatnya pailit itu adalah sita umum. Sementara ada perkara pidana pun masuk ke dalam sita umum,” jelas Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk menguraikan hak konstitusional yang dirugikan dengan dibandingkan adanya pertentangan norma yang diujikan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim
https://youtu.be/XXCCv7QWyhM