JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) pada Kamis (3/6/2021) secara virtual. Permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, peserta seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016.
Sedianya, sidang perkara Nomor 92/PUU-XVIII/2020 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Selanjutnya, mendengarkan keterangan Pihak Terkait MA dan KY. Namun, persidangan terpaksa ditunda karena pemerintah belum siap, sedangkan DPR tak hadir.
“Menurut catatan Kepaniteraan semua pihak hadir kecuali DPR. Dan tadi sudah disampaikan oleh Panitera bahwa baik pemerintah, Pihak Terkait MA belum siap dengan keterangan tertulis kecuali Pihak Terkait KY yang telah siap. Tetapi acaranya untuk pertama kita dengar keterangan DPR dan pemerintah. Oleh karena itu, sidang ini belum bisa kita lanjutkan dan harus ditunda sampai hari rabu 16 Juni 2021 jam 11.00 dengan agenda yang sama yaitu mendengarkan keterangan DPR, pemerintah, Pihak Terkait MA dan Pihak Terkait KY,“ kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman sebelum menutup persidangan.
Baca Juga:
Menguji Kewenangan KY Mengusulkan Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Penguji Kewenangan KY Perbaiki Kerugian Konstitusional
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU KY diajukan oleh Burhanudin, seorang dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2016. Adapun norma yang diujikan yakni Pasal 13 huruf a UU KY.
Dalam persidangan sebelumnya, Zainal Arifin Hoesein selaku kuasa Pemohon mengatakan bahwa pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”. Selain itu, aturan hukum dalam UU a quo yang menyamakan hakim ad hoc dengan Hakim Agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya hakim ad hoc pada MA tidak sama dengan hakim agung baik status, fungsi, dan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jabatan hakim ad hoc pada MA tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan jabatan hakim agung. Model seleksi terhadap hakim ad hoc, khususnya Tipikor yang dilakukan oleh MA yang diatur dalam UU Pengadilan Tipikor, sebelum berlakunya ketentuan UU KY, lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan sesuai kompetensi seorang hakim ad hoc di bidang tertentu sebagaimana yang dibutuhkan oleh MA.
Lebih lanjut Zainal menjelaskan, Pengadilan Tipikior bernaung di MA sebagai pengadilan khusus di bawah lembaga peradilan umum. Menurutnya, kebijakan negara dalam menghadapi korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa adalah dengan membentuk lembaga negara independen, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Guna mendukung kinerja KPK, sambung Zainal, maka dibentuk pengadilan khusus yang diletakkan pada MA di bawah lembaga peradilan umum.
Ketentuan hakim ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya ketentuan Pasal 13 huruf a UU a quo, maka jelaslah bahwa Pembentuk Undang-Undang secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Dengan demikian, memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim MA dengan hakim ad hoc yang memiliki perbedaan baik secara struktural, maupun status merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan.
Selain itu mendasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXIII/2015, tanggal 7 Oktober 2015, maka telah ternyata ketentuan Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial inkonstitusional, sehingga Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan secara konstitusional dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.