JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu (2/6/2021) siang. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Pleno Hakim dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Anggota Komisi III DPR RI Andi Rio Idris Padjalangi memberikan keterangan terhadap permohonan yang teregistrasi dengan nomor 85/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor. Para Pemohon mendalilkan kekuasaan kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan ad hoc, tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (8) juncto. Pasal 27 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang tidak memberikan definisi atau tafsir bagi peradilan ad hoc.
Terkait dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa para Pemohon sangat keliru. Karena seolah-olah menyamakan makna ad hoc yakni ketika suatu peradilan terdapat hakim ad hoc, maka peradilan tersebut dinyatakan sebagai peradilan ad hoc. Adapun pengaturan hakim ad hoc adalah hakim yang bertugas. Sementara telah tegas diatur pada Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara, yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang, kata Andi Rio Idris Padjalangi menyampaikan keterangan DPR secara virtual.
Ketidakpastian Hukum
Pembatasan masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tipikor, menurut DPR, sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara. Jika tidak ada pengaturan masa jabatan dimaksud, justru akan menyebabkan ketidakpastian hukum, karena tidak ada kejelasan mengenai lamanya seseorang menjadi hakim ad hoc.
DPR berpandangan, berdasarkan makna yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman, maka perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir pada umumnya hanya berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh masa periode tertentu serta memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu sesuai Pasal 12 UU Pengadilan Tipikor.
Masih menurut DPR, UU Kekuasaan Kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan ad hoc, tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (8) juncto Pasal 27 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. DPR menerangkan, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Pengadilan Tipikor memang sama sekali tidak mengatur soal peradilan sementara.
Bahwa yang dimaksud kata ad hoc dalam UU, kepada salah satu struktur hakim yang terdiri atas hakim karir atau hakim tetap dan hakim ad hoc atau hakim sementara atau hakim dengan pembatasan masa jabatan, baik Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Tipikor dan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman. Maka, ad hoc dalam kedua undang-undang tersebut, tidak ditujukan kepada makna peradilan tetap atau tidak tetap serta tidak ditujukan kepada makna peradilan untuk tujuan tertentu atau tujuan khusus. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa dalil para Pemohon adalah salah objek, tegas Andi.
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman
Selanjutnya, DPR menanggapi dalil para Pemohon bahwa adanya periodisasi masa jabatan hakim akan berakibat pada independensi hakim itu sendiri. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa yang dimaksud dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, segala campur tangan urusan peradilan di luar kekuasaan kehakiman dilarang. Kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Sedangkan definisi hakim ad hoc terdapat pada Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, memutus perkara, yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Tujuan diangkatnya hakim ad hoc adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus, misalnya kejahatan perbankan, kejahatan pajak, korupsi, anak, perselisihan hubungan industrial, telematika, jelas Andi.
DPR berpandangan bahwa sudah seharusnya independensi kekuasaan kehakiman hakim ad hoc tidak akan terganggu dengan adanya pembatasan masa jabatan. Karena adanya salah satu syarat untuk menjadi hakim ad hoc, sebagaimana disebutkan pada Pasal 12 huruf G UU a quo yang mengharuskan calon hakim ad hoc harus jujur, adil, cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik.
Diatur dalam UU Pengadilan Tipikor
Persidangan kali ini juga mendengar keterangan Pemerintah. Diwakili Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antarlembaga Dhahana Putra, Pemerintah menanggapi permohonan para Pemohon yang menginginkan dihapusnya periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi karena dapat menimbulkan terganggunya independensi hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman.
Pemerintah berpendapat, segala hak dan kewajiban para Pemohon sudah diatur dalam UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Para Pemohon dapat dinyatakan hak konstitusionalnya dirugikan jika baik cara pengangkatan dan fungsinya tidak diatur dengan undang-undang.
“Sehingga Pemerintah berkeyakinan bahwa para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Karena baik kedudukan dan fungsi para Pemohon sebagai hakim ad hoc telah diatur dengan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kata Dhahana Putra.
Selain itu menurut Pemerintah, para Pemohon dalam menjalankan pekerjaannya sebagai hakim ad hoc tidak terhalang-halangi ataupun mendapat perlakuan yang diskriminatif. Bahkan para Pemohon sudah menjalani jabatannya hampir dua periode. Meski sebentar lagi akan mengakhiri masa jabatannya, namun para Pemohon masih diberikan kesempatan untuk mengajukan diri sebagai calon hakim ad hoc pada periode berikutnya melalui seleksi sesuai persyaratan yang sudah ditentukan.
Berdasarkan fakta tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada hubungan kausal antara kerugian yang dialami para Pemohon dengan pasal dalam permohonan yang diuji para Pemohon, baik secara khusus dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Baca Juga:
Dua Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Mempersoalkan Masa Jabatan
Penguji Masa Jabatan Hakim Ad Hoc Tipikor Perbaiki Petitum
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh dua hakim ad hoc yaitu Sumali dan Hartono. Para Pemohon menguji Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang menyatakan, Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentua tersebut. Menurut Para Pemohon, adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali jabatan, maka mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi.
Menurut para Pemohon, keharusan adanya jaminan masa kerja dan jabatan bagi hakim merupakan bagian dari prinsip independensi kekuasaan kehakiman dan jaminan profesi hakim yang profesional. Tetapi kemudian dengan adanya periodesasi masa jabatan bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi membuat hakim ad hoc tindak pidana korupsi berada dalam situasi ketidakpastian dan ketidaksamaan dalam menjalankan masa jabatan dan masa pemberhentiannya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana
https://youtu.be/AFjTYlLfAvg