JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Selasa (25/5/2021) siang. Pemohon Perkara 9/PUU-XIX/2021 ini adalah Herman Dambea yang menjabat sebagai komisaris PT Radio Al-Adha di Gorontalo Sulawesi Utara. Pemohon melakukan pengujian Pasal 33 UU No. 11/2020, dalam hal perizinan berusaha yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya.
Diwakili kuasa hukum Riyan Nasaru dan Rovan Panderwais Hulima, Pemohon mendalilkan merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 33 UU No. 11/2020 yang menyebutkan: “1. Penyelenggaraan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 2. Lembaga penyiaran wajib membayar biaya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan zona/daerah penyelenggaraan penyiaran yang ditetapkan dengan parameter tingkat ekonomi setiap zona/daerah …”
Dalam hal ini, menurut Pemohon, kerugian yang dimaksud adalah bahwa pendirian lembaga penyiaran maupun perpanjangan izin lembaga penyiaran akan ditentukan hanya oleh pemerintah saja. Dalam arti, sebuah lembaga penyiaran seperti perusahaan media tempat Pemohon berusaha dan bekerja berpotensi besar untuk tidak mendapat izin penyiaran atau tidak diperpanjang izin penyiarannya karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan penguasa.
“Ini sangat tidak demokratis dan mengebiri lembaga penyiaran dalam memenuhi hak-hak warga negara untuk mendapatkan informasi yang benar yang diamanahkan oleh Pasal 28F UUD 1945,” ujar Riyan, salah seorang kuasa hukum Pemohon kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai representasi rakyat, dalam hal penyiaran, tetap Pemohon butuhkan dalam perizinan agar penilaian terhadap lembaga penyiaran yang mengajukan izin maupun perpanjangan izin, dapat dilaksanakan secara independen dan adil.
Menurut Pemohon, Pasal 33 UU No. 11/2020 dalam hal perizinan berusaha mengubah pengaturan tentang semangat demokratisasi dan desentralisasi dan menguatkan kontrol oligarki Pemerintah atas industri penyiaran. Hal ini bertentangan dengan dua prinsip bagi iklim media yang demokratis yakni “keragaman konten” dan “keragaman kepemilikan”.
Pemohon sendiri adalah komisaris di PT Radio Al-Adha sebagai salah satu lembaga penyiaran radio yang sampai saat ini mengudara dengan menyampaikan nilai-nilai informasi edukasi untuk pengembangan pengetahuan masyarakat di daerah Pemohon, sebagaimana kebebasan demokratisasi sebagai bentuk pengejawantahan dari semangat ideologi Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Radio dari Menteri Komunikasi dan Informatika bernomor 523/KEP/M.KOMINFO/09/2012 tertanggal Jakarta 4 September 2012.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menasehati Pemohon agar lebih memperhatikan sistematika dan struktur permohonan. “Standar sistematika permohonan ke MK meliputi identitas Pemohon, kedudukan hukun Pemohon, kewenangan Mahkamah, posita dan ditutup dengan petitum,” kata Manahan yang juga mengingatkan Pemohon dalam hal penulisan pasal yang diuji.
Selain itu Manahan meminta Pemohon lebih mempertegas kedudukan hukum Pemohon, sebagai pihak yang mewakili perusahaan radio atau bersifat perorangan. Selain itu, Pemohon harus lebih menguraikan alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan batu uji.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra mencermati bahwa di satu sisi Pemohon menyebutkan menguji UU Cipta Kerja, sedangkan di sisi lain Pemohon menyebutkan UU Penyiaran. “Anda ingin mempersoalkan UU Penyiaran atau pasal dalam UU Cipta Kerja? Tolong dipikirkan itu,” kata Saldi. Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan Pemohon agar melengkapi Kewenangan Mahkamah dengan UU MK yang baru. Karena Pemohon masih menggunakan UU MK yang lama UU No. 24 Tahun 2003.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Humas: Lambang TS.
Editor: Nur R.