JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (4/5/2021) siang.
Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan pada 15 Desember 2020 dan telah memberi nasihat kepada Pemohon agar memperbaiki dan memperjelas permohonan sesuai sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Selanjutnya permohonan diperbaiki dan disampaikan ke Kepaniteraan MK pada 28 Desember 2020. Namun, pada sidang berikut, dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon tidak hadir karena alasan ada anggota keluarga yang sakit.
Baca juga: Merasa Nama Baiknya Tercemar, Charlie Wijaya Uji UU Pers
Dalam perbaikan permohonan yang diterima Mahkamah pada 19 April 2021, Pemohon menguraikan sistematika permohonan meliputi judul, nama Pemohon, uraian pasal tentang Kewenangan Mahkamah, uraian tentang kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan (posita), petitum.
“Sistematika permohonan Pemohon tidak memenuhi sistematika permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,” ujar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang membacakan pendapat Mahkamah.
Baca juga: Pemohon Tidak Hadir, Uji UU Pers Ditunda
Menurut Mahkamah, permohonan pengujian undang-undang menurut Peraturan MK Nomor 2/2021 harus meliputi identitas Pemohon, uraian yang jelas mengenai dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon dan alasan permohonan pengujian yang diuraikan secara jelas dan rinci, serta hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan.
Mahkamah juga menilai Pemohon tidak menguraikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu Pemohon tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, melainkan justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Menimbang berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lagi kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.
Dalam sidang perdana yang berlangsung pada 15 Desember 2020 silam, Charlie Wijaya selaku Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-XVIII/2020 ini mendalilkan Pasal 18 ayat (1) UU Pers melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
Pemohon menganggap dirinya menjadi korban pemberitaan media dengan judul “Minta maaf usai menuduh seorang komika bernama Bintang Emon menggunakan narkoba.” Pemohon berdalih akibat pemberitaan tersebut, ia menilai nama baiknya tercemarkan dan menghancurkan reputasinya. Setelah media meminta maaf, Pemohon meminta ganti rugi akibat kesalahan pemberitaan tersebut. Namun, media mengatakan tidak ada ganti rugi berdasarkan UU Pers.
Menurut Pemohon, efek dari pemberitaan tersebut membuat nama baiknya tercemar, mendapat cacian, makian, hinaan, dan ancaman dari pihak-pihak tertentu. Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan bahwa proses pembentukan UU Pers dinilai ada dugaan yang dikesampingkan. Oleh sebab itu, Pemohon menduga hal itu tidak berdasar pada Undang- 5 Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) di BAB XA Hak Asasi Manusia (Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4)). Sepanjang dimaknai misal ada Hak Asasi Manusia yang dikesampingkan dan dihilangkan. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Annisa Lestari