JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Rabu (21/4/2021). Para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI) Roy Jinto Ferianto bersama 12 Pemohon lainnya.
Kuasa hukum para Pemohon, Cahya Sehabudin Malik menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sebagaimana saran Majelis Hakim dalam sidang sebelumnya. Perbaikan tersebut, di antaranya memasukkan pasal-pasal yang akan diuji serta menjelaskan identitas Pemohon terkait kedudukan hukum.
“Terkait Pemohon I yang mewakili organisasi sebagaimana arahan Yang Mulia, kami sudah perbaiki pada halaman 1 dan 2 yaitu organisasi FSP TSK SPSI yang diwakili oleh ketua umum dan sekretaris umum berdasarkan anggaran dasar Pasal 19 ayat (1) huruf e anggaran dasar FSP TSK SPSI. Kemudian, dalam hal Pemohon perorangan, kami uraikan pada halaman kedua sampai halaman kelima. Pemohon perorangan merupakan karyawan pekerja dari beberapa perusahaan,” jelas Cahya kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.
Dalam perbaikan permohonan, para Pemohon telah memisahkan kerugian konstitusional secara formil dan materiil serta kerugian konstitusional, baik secara faktual dan potensial. “Kami juga menguraikan alasan pengujian formil pada halaman 54 sampai 78, poin 1 sampai dengan 92. Adapun dasar pengujian yang telah disampaikan untuk uji formil adalah Pasal 22A, Pasal 20 ayat (5), Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kemudian, Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya Pasal 113 ayat (6), Pasal 226, Pasal 163, Pasal 164 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” urai Cahya.
Baca juga: Federasi Serikat Pekerja Tekstil Gugat UU Cipta Kerja
Sebagaimana diketahui, para Pemohon adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK - SPSI) Roy Jinto Ferianto selaku Pemohon I bersama 12 Pemohon lainnya. Para Pemohon melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Pasal 81 angka 1, Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, Pasal 14 ayat (1) angka 3, Pasal 37 ayat (1) huruf b angka 4, Pasal 42 angka 12, Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4) angka 13, Pasal 57 angka 14, Pasal 58 ayat (2) angka 15, Pasal 59 angka 16, Pasal 61 ayat (1) huruf c angka 20, Pasal 66 angka 23, Pasal 79 ayat (2) huruf b angka 24, Pasal 88 angka 25, Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C angka 30, Pasal 92 angka 37, Pasal 151 angka 38, Pasal 151A angka 42, Pasal 154A angka 44, Pasal 156 ayat (4) huruf c Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja.
Pemohon I adalah Serikat Pekerja yang berbentuk federasi, sedangkan para Pemohon lainnya merupakan Pemohon perseorangan sebagai pekerja/buruh di berbagai perusahaan di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Dalam pengujian formil, berdasarkan Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945, DPR dan Presiden selaku pembentuk undang-undang mendapatkan legitimasi untuk menduduki jabatannya karena telah dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, termasuk pula oleh para Pemohon. Artinya, ada ikatan tali mandat antara para Pemohon sebagai warga negara dan konstituen dengan Presiden dan DPR terpilih. Presiden dan DPR terpilih telah diberikan kewenangan menurut konstitusi memegang kekuasaan membentuk undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 untuk membahas rancangan undang-undang, tidak terkecuali UU Cipta Kerja untuk mendapatkan persetujuan bersama sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja dibangun dengan landasan naskah akademik yang tidak memadai, tidak menjabarkan secara komprehensif analisa mengenai perubahan ketentuan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) Undang-Undang khususnya UU No. 13/2003 dalam Bab IV Ketenagakerjaan Bagian Kedua Ketenagakerjaan, serta tidak mampu menjawab urgensi pentingnya dilakukan perubahan dalam UU No. 13/2003, naskah akademik UU Cipta Kerja seolah-olah hanya dirumuskan untuk memenuhi formalitas syarat pembentukan undang-undang semata.
Selain itu menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik khususnya stakeholder termasuk para Pemohon, sejak perencanaan melanggar ketentuan Pasal 22A UUD 1945, Pasal 88 dan Pasal 96 UU No. 12/2011. Seharusnya naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) a quo sudah harus dipublikasikan dan diperdebatan secara luas untuk menyerap aspirasi publik. Realitanya proses pembentukan UU a quo hanya melibatkan segelintir pihak yakni pihak dunia usaha yang tergabung dalam Satgas Omnibus Law yang isinya tidak ada satupun dari serikat pekerja termasuk para Pemohon.
Masih menurut para Pemohon, banyak kesalahan fatal dalam pembentukan UU Cipta Kerja dan juga menabrak asas fundamental dan norma konstitusional pembentukan undang-undang, serta aturan derivasinya menghasilkan materi muatan undang-undang yang inkonstitusional. Khususnya Bab IV Bagian Kedua, tidak subtansif menjawab persoalan-persoalan ketenagakerjaan selama ini, tidak berorentasi pada perlindungan dan peningkatan kesejateraan pekerja/buruh. Materi yang disajikan minim gagasan konseptual dan holistik tentang grand design ketenagakerjaan di Indonesia ke depan, hanya mereduksi hak-hak pekerja/buruh yang selama ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemohon berpendapat, UU Cipta Kerja Bab IV Bagian Kedua Pasal 81 telah merevisi, mengubah, menghapus dan menetapkan norma baru dalam UU No. 13/2003. Oleh karena itu, secara jelas para Pemohon dirugikan atau setidak-tidaknya berpotensi mengalami kerugian konstitusional. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c obyek perkara a quo tidak jelas yang dimaksud dalam pelatihan kerja perusahaan, tidak menjelaskan secara jelas kewenangan lembaga pelatihan kerja perusahaan untuk melakukan pelatihan terhadap siapa. Selain itu, ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c berpotensi terjadi ekploitasi terhadap pencari kerja dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan dengan dalih atau modus pelatihan kerja yang dilakukan di area produksi perusahaan dan menghasilkan hasil produksi namun tidak ada hubungan kerja antara perusahaan dengan peserta pelatihan kerja. Dengan tidak adanya hubungan kerja, maka tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayar upah sebagaimana dimaksud Pasal 88A ayat (1) yang termuat dalam Pasal 81 angka 25 Bab IV Bagian Kedua UU a quo.(*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Fitri Yuliana