JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian), yang dimohonkan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Kamis (14/1/2021) siang.
“Amar Putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon, menyatakan frasa ‘...diatur dalam Peraturan Pemerintah’ dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menjadi ‘Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang-Undang’,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang dihadiri para pihak secara virtual.
Baca juga: BPA AJB Bumiputera Uji Pengaturan Perusahaan
Putusan MK Sebelumnya
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan sehubungan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan ini terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya telah memerintahkan pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Namun, pada kenyataannya pembentuk undang-undang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang.
Dalam persidangan terdahulu, Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan pada salah satu pokok penyampaiannya menyatakan, “UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah.”
“Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Padahal Putusan tersebut sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa ‘...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan’. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi,” jelas Suhartoyo.
Baca juga: BPA AJB Bumiputera Pertegas Kedudukan Hukum
Tindakan Keliru
Lebih lanjut Suhartoyo membacakan bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut merupakan tindakan yang keliru. Bahkan secara faktual, tindakan tidak melaksanakan putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, sambung Suhartoyo, tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain.
“Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya,” jelas Suhartoyo dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno Gedung MK dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Baca juga: Pemerintah: Pengaturan Usaha Persuransian adalah Pilihan Open Legal Policy
Bukan Masalah Konstitusionalitas
Berkaitan dengan alasan pembentuk undang-undang atas penafsiran berbeda mengenai Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut, Mahkamah berpendapat hal itu bukan merupakan alasan konstitusional, melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya, sambung Suhartoyo, pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang. Sehingga, perusahaan ini pun dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi.
Secara fakta sejarah, Indonesia telah memiliki Asuransi Usaha Bersama (dalam hal ini AJB Bumiputera 1912) yang keberadaannya masih diakui. Seharusnya perusahaan ini harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, sebagaimana amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Mahkamah menilai pula penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Dengan mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama (mutual), sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang juga menjadi bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut.
“Menimbang berdasarkan seluruh uraian tersebut, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi ‘diatur dalam Peraturan Pemerintah’ menjadi ‘diatur dengan undang-undang’,” jelas Suhartoyo.
Baca juga: Margarito: Pengaturan Usaha Perasuransian Bercorak Kapitalis
Permohonan uji materi UU Perasuransian ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda. Para Pemohon menguji Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian telah menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013.
Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Baca juga: Ahli: Asuransi Usaha Bersama Kekurangan Akses Modal Akibat Tak Ada Aturan Hukum Khusus
Dalam putusan MK tertanggal 03 April 2014 tersebut MK memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Selain itu, Pemohon menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mewajibkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membentuk UU tersendiri tentang Asuransi Usaha Bersama. Menurut para Pemohon, keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, dua hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Wahiduddin Adams. Keduanya berpendapat uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, lanjut Enny, pada prinsipnya siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan, yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia. Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah.
“Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen,” ucap Enny yang membacakan Pendapat Berbeda.
Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011).
“Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912,” urai Enny.
Enny pun menjelaskan tidak dapat menguraikan kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo. “Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014,” tandasnya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari
https://youtu.be/zoaVnbY6GUc