JAKARTA, HUMAS MKRI – Dikutip dari Harvard Health Publishing yang menyebut beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan adanya manfaat medis dari penggunaan ganja bagi pasien, seperti untuk penderita epilepsi. Bahkan, di 35 negara bagian Amerika Serikat, melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan medis. Akan tetapi, di Indonesia, ganja termasuk dalam Narkotika Golongan I sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang penggunaannya dapat terkena sanksi pidana.
Hal ini memicu sejumlah ibu dari pasien celebral palsy serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat melakukan uji materiil dari Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut. Sidang perdana perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/12/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon yakni Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Erasmus Abraham selaku kuasa hukum para Pemohon menerangkan bahwa tiga orang Pemohon perseorangan merupakan para ibu dari anak yang menderita celebral palsy. Dwi Pertiwi, salah seorang ibu yang menjadi Pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. “Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon I untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon,” ujar Erasmus.
Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Dikatakan Ma’ruf—selaku kuasa hukum para Pemohon lainnya—bahwa penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Ia menjelaskan, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, sambung Ma’ruf, dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, jelas disebutkan bahwa narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Lebih lanjut Ma’ruf mengatakan dalam Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan “Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”. Ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”
Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para pemohon terkait kewenangan MK agar disempurnakan dan dibuat menjadi sistematis. Selain itu, Enny juga meminta para pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon bersifat faktual atau potensial. Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyarankan para pemohon untuk mengelaborasi kedudukan hukum. Kemudian, Daniel juga meminta para pemohon untuk mencermati petitum.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konsitusi Suhartoyo menyampaikan bahwa para Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Selasa, 29 Desember 2020 pukul 11.00 WIB. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim
https://youtu.be/NCn_Z-7HgV8