JAKARTA, HUMAS MKRI – Beragam materi disampaikan para narasumber pada hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020, Kamis (10/12/2020). Bimtek yang digelar secara virtual ini ditujukan bagi Kongres Advokat Indoenesia (KAI), Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPKHI), dan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Baca juga:
Ketua MK: Pilkada Merupakan Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi dan Nomokrasi
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyajikan materi “Tata Beracara Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020.” Enny Nurbaningsih dalam paparan menekankan pentingnya bagi seluruh peserta termasuk para kuasa hukumnya agar membaca dengan cermat seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata beracara penanganan perkara perselisihan hasil pilkada.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa sekecil apapun dokumen yang terkait dengan proses pemungutan suara sebaiknya sudah terarsip dengan baik. Jangan sampai kemudian pada saat masuk pada proses persidangan, apalagi saat pembuktian, ternyata dokumen-dokumen yang dimiliki oleh kuasa hukum tidak lengkap atau dokumennya yang tidak seharusnya,” ujar Enny.
Enny juga menyebutkan para pihak adalah pasangan calon yang kalah dalam pilkada atau bisa juga pemantau pemilihan yang sudah teregistrasi. Pihak lainnya adalah Termohon, dalam hal ini adalah KPU atau KIP (Aceh). Pihak berikutnya adalah Bawaslu sebagai pemberi keterangan, lalu ada Pihak Terkait sebagai pasangan calon yang menang dalam pilkada. Pihak Terkait bisa juga dari pemantau pemilihan yang sudah terakreditasi.
Hal lain yang perlu dipahami semua pihak, lanjut Enny, karena yang dipersoalkan adalah keputusan KPU atau KIP tentang penetapan perolehan suara hasil pilkada, maka jangan mempersoalkan berita acaranya. Hal yang paling pokok, kata Enny, ketika mengajukan permohonan ke MK hanya satu kali. Enny juga mengingatkan soal otentisitas tanda tangan kuasa hukum, baik kuasa hukum pemohon, termohon, pemeberi keterangan, maupun pihak terkait.
“Terkait dengan pemegang kuasa untuk pihak manapun, tanda tangannya harus sebagaimana mestinya, jangan ada tanda tangan palsu sebagai kuasa hukum,” tegas Enny.
Permohonan perkara perselisihan pilkada, jelas Enny, dapat dilakukan secara luring (offline) dan daring (online). Para pihak yang akan berperkara dapat memilih cara pengajuan permohonan, bisa secara luring atau daring. Pilihan-pilihan cara permohonan yang akan diajukan oleh pasangan calon haruslah sedemikian rupa diperhitungkan waktunya. Kemudian, permohonan diajukan paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan suara hasil pilkada oleh KPU atau KIP.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra mengomentari hasil pemungutan suara pilkada di beberapa daerah pada 9 Desember 2020 lalu melalui hasil hitung cepat yang dirilis beberapa media bekerja sama dengan pelaksana hitung cepat atau quick count. “Dari pelacakan saya, ada beberapa pemilihan gubernur yang sangat cepat. Misalnya pemilihan gubernur di Sumatera Barat, selisih persentase antara pasangan calon sekitar 2-3 persen. Di Kalimantan Selatan lebih ketat lagi, selisih persentase hanya nol koma sekian persen. Termasuk juga Kalimantan Tengah. Itulah gambaran beberapa pemilihan berlangsung sangat ketat,” kata Saldi.
Namun, Saldi berharap tidak ada gugatan perselisihan pilkada masuk ke MK. Hal ini demi menghindari kemungkinan penumpukan orang yang bisa menjadi klaster baru di MK. Tapi menurut Saldi, harapan ini sulit terjadi karena banyak hal yang harus ditempuh untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang terkait dengan hasil pilkada.
Dengan demikian secara faktual dan berdasarkan pengalaman-pengalaman penyelesaian sengketa hasil pilkada sebelumnya, Mahkamah Konstitusi melakukan sejumlah perubahan dalam penanganan perkara perselisihan pilkada. Misalnya, proses pendaftaran perkara diharapkan tidak terjadi penumpukan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya yang mengajukan pendaftaran permohonan berulang-ulang.
“Makanya sekarang pendaftaran permohonan perselisihan hasil pilkada hanya boleh dilakukan satu kali. Kami di Mahkamah mencoba menyederhanakan hal-hal yang minimal harus dipenuhi dalam proses pendaftaran permohonan,” terang Saldi.
Termasuk juga Pemohon diperkenankan hanya satu kali dapat melakukan perbaikan permohonan. Setelah permohonan diregistrasi, tidak ada lagi perbaikan. Kalau ada perbaikan, hanya perbaikan bahasa, misalnya salah ketik dan sebagainya yang disampaikan dalam persidangan atau direnvoi. “Untuk perbaikan permohonan terkait hal-hal yang substansial tidak bisa lagi,” ucap Saldi.
Lebih lanjut Saldi menanggapi Pasal 158 UU Pilkada terkait penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada). Pemberlakuan Pasal 158 pada penanganan perkara PHP Kada 2020 berbeda dengan penanganan perkara perselisihan hasil pilkada tahun-tahun sebelumnya. “Pasal 158 akan kami nilai keberadaannya dengan mendengar permohonan Pemohon dengan bukti-buktinya, jawaban Termohon dengan bukti-buktinya, mendengarkan keterangan pihak Terkait dan mendengar keterangan Bawaslu. Kalau kami meragukan penerapan Pasal 158 itu, nanti kami akan melanjutkan pada tahap pembuktian,” tandas Saldi.
Sejarah Judicial Review
Pada sesi kedua hadir peneliti senior MK Pan Mohamad Faiz yang menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI.” Di awal paparan, Faiz menjabarkan sejarah judicial review di dunia melalui putusan monumental Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803 sebagai kali pertama Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan undang-undang buatan Kongres Amerika Serikat. Padahal pada saat itu Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak diberi kewenangan untuk menguji undang-undang.
“Ini adalah salah satu sejarah munculnya kemudian Mahkamah Konstitusi yang pada 1920 di Austria. Berdasarkan gagasan ahli perundang-undangan Hans Kelsen, maka Austria membentuk Mahkamah Konstitusi yang terpisah dengan Mahkamah Agung dengan kewenangan-kewenangan khusus yang berkaitan dengan Konstitusi, politik, sengketa antarlembaga negara baik pusat maupun daerah,” ujar Faiz.
Sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) berawal pada masa kemerdekaan saat Mohammad Yamin mengusulkan kewenangan Balai Agung membanding jika ada undang-undang yang melanggar Konstitusi. Namun usul Yamin ditolak oleh Soepomo, dengan alasan Indonesia tidak menganut prinsip Trias Politica dan saat itu belum ada sarjana hukum yang paham soal membanding undang-undang. Bertahun-tahun, tepatnya 13 Agustus 2003 dibentuklah MKRI sebagai buah reformasi dan amendemen UUD 1945. Namun demikian, meski usianya terbilang muda, ungkap Faiz, kiprah MKRI di dunia termasuk bisa diandalkan. Buktinya, MKRI terpilih sebagai Sekretariat Tetap Asosiasi MK se-Asia. Bahkan Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang duduk di Venice Commision di Eropa. Bahkan Indonesia disebut sebagai leading countries terbaik dalam pengembangan konstitusionalisme.
Berikutnya, Faiz menjelaskan dua model judicial review yang digunakan negara-negara dalam konteks pengujian undang-undang. Ada Model Terdesentralisasi (Sistem Amerika) yang memberikan kewenangan menguji undang-undang bukan hanya pada Mahkamah Agung tapi juga pengadilan di bawahnya. Selain ada Model Terpusat (Sistem Eropa), bahwa hanya ada satu lembaga peradilan yang menguji konstitusionalitas undang-undang yaitu Mahkamah Konstitusi. Indonesia termasuk menggunakan Model Terpusat, termasuk Korea Selatan, Turki, Thailand, Afrika Selatan dan lain-lain. Selanjutnya Faiz menerangkan Model Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbagi tiga. Model MK Pertama, hanya bisa menguji undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan, seperti di Indonesia, Jerman dan lainnya. Model MK Kedua, undang-undang tidak bisa di-judicial review, yang bisa di-judicial review hanyalah rancangan undang-undang, seperti di Perancis. Sedangka Model MK ketiga menggabungkan Model MK Pertama dan Model MK Kedua.
PMK No. 8 Tahun 2020
Berikutnya hadir Panitera Muda MK Wiryanto dengan materi “Mekanisme dan Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020.” Wiryanto menjelaskan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 8 Tahun 2020 tentang Tahapan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. PMK No. 8 Tahun 2020, kata Wiryanto, sejatinya PMK tentang Perubahan atas PMK No. 7 Tahun 2020 tentang Tahapan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
“Mengapa ada perbaikan, karena baru-baru ini kita tahu ada perubahan jadwal cuti bersama yang diubah oleh pemerintah. Tanggal 28, 29, 30 Desember yang semula dijadwalkan libur, menjadi masuk. Oleh karena itu, hal ini pasti akan memengaruhi tahapan kegiatan di Mahkamah Konstitusi,” ujar Wiryanto.
Dalam PMK No. 8 Tahun 2020 juga dijelaskan bahwa ada 14 tahapan yang harus diperhatikan dalam penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemlihan Kepala Daerah 2020. Tahap pertama, pengajuan permohonan Pemohon. Tahap kedua, melengkapi dan memperbaiki permohonan Pemohon. Tahap ketiga, pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon. Tahap keempat, pengumuman hasil pemeriksaan kelengkapan. Tahap kelima perbaikan permohonan Pemohon.
“Setelah itu pencatatan permohonan Pemohon dalam e-BRPK. Kemudian melakukan penyampaian salinan permohonan kepada Termohon dan Bawaslu. Berikutnya, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait. Lalu, pemberitahuan sidang kepada para pihak. Tahapan berikutnya, melakukan pemeriksaan pendahuluan, sidang pembuktian dan Rapat Permusyawaratan Hakim. Hingga akhirnya dilakukan pengucapan putusan/ketetapan serta penyerahan dan penyampaian salinan putusan/ketetapan,” urai Wiryanto.
Hal lainnya, Wiryanto menjelaskan objek sengketa pilkada adalah Keputusan Termohon sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam hal ini KPU Pusat, KPU Provinsi maupun KIP di Aceh. Keputusan Termohon berupa penetapan tentang perolehan suara hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang signifikan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih.
Kemudian yang dimaksud para pihak dalam PHP Kada terdiri atas Pemohon yaitu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota yang merasa keberatan dengan hasil penetapan perolehan suara oleh KPU. Pemantau pemilihan dapat menjadi Pemohon yang terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU. Pihak berperkara lainnya adalah Termohon (KPU), Pemberi Keterangan (Bawaslu) dan Pihak Terkait sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan.
Sesi terakhir dari bimtek ini adalah paparan materi “Teknik Penyusunan Permohonan dan Keterangan Pihak Terkait” oleh Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari. “Pemohon adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota. Kalau kemudian hanya terdapat satu pasangan calon, lawannya adalah ‘kotak kosong’, berarti ‘kotak kosong’ direpresentasikan oleh pemantau pemilihan yang sudah terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU,” ungkap Syukri.
Sedangkan Termohon adalah KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota. Pihak Terkait adalah pihak yang berseberangan dengan Pemohon yang juga merupakan pasangan calon. Misalnya yang menang ‘kotak kosong’ maka yang menjadi pihak Terkait adalah pemantau pemilihan. Kemudian, Bawaslu sebagai pemberi keterangan.
Syukri juga menjelaskan sistematika permohonan Pemohon meliputi identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, kemudian menjelaskan objek dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan yakni Keputusan Termohon mengenai Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur/Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih.
Selain itu, menjelaskan kedudukan hukum Pemohon, menjelaskan bahwa Pemohon adalah pasangan calon atau pemantau pemilihan. Selain itu dalam kedudukan hukum disebutkan dasar hukumnya, harus ada pernyataan Pemohon memiliki kedudukan hukum. Juga disebutkan tenggang waktu pengajuan permohonan sesuai ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 juncto Pasal 7 ayat (2) PMK 5/2020, antara lain permohonan diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh Termohon. Terakhir, dalam permohonan harus ada alasan permohonan dan petitum.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.