JAKARTA, HUMAS MKRI - Landasan keserentakan pemilu dalam Undang-Undang Pemilu adalah tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang didasarkan atas tiga hal utama, yakni dalam rangka penguatan sistem presidensial, penafsiran konstitusi, dan prinsip efisiensi anggaran pemilu. Demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Habiburrokman secara virtual dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar di MK pada Senin (7/12/2020).
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum DPP dan Abdullah Mansuri selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga…
Partai Garuda Persoalkan Verifikasi Ulang Partai Politik Peserta Pemilu
Partai Garuda Perkuat Kedudukan Hukum Pemohon dalam Uji UU Pemilu
Lebih lanjut Habiburokman mengatakan bahwa dengan berlandaskan pada prinsip kemufakatan, yang menjadi salah satu landasan keserentakan pemilu, maka pembentuk undang-undang merumuskan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu yang tidak lagi menetapkan partai politik peserta pemilu berdasarkan kepada ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya. Sehubungan dengan ketentuan mengenai verifikasi partai politik yang ada pada Pasal 173 UU Pemilu, diakui Habiburokhman berbeda dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU tentang Pemilu Legislatif (UU Pileg) yang pernah diujikan sebelumnya pada Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012.
Dalam Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Pileg tersebut dinyatakan partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional, ditetapkan sebagai partai peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Aturan ini jelas memang berbeda dengan yang ada pada ketentuan Pasal 173 UU Pemilu yang tidak membatasi hanya partai politik yang memenuhi batas dalam penentuan kursi di DPR saja. Sedangkan persyaratan yang terdapat dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu, pada dasarnya memiliki kesamaan rumusan mengenai syarat pendirian partai yang ada di UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 22 Tahun 2011 atau Undang-Undang Partai Politik.
“Apabila suatu partai politik telah diakui keabsahannya oleh Kementerian Hukum dan HAM, maka hampir seluruh persyaratan ketentuan di dalam norma Pasal 173 ayat (2) Undang-Undang Pemilu telah terpenuhi. Oleh karena itu, semua partai politik yang memenuhi persyaratan pendirian partai politik di Kementerian Hukum dan HAM seharusnya serta-merta dapat diikutsertakan sebagai partai politik peserta pemilu tanpa melihat persyaratan ambang batas,” sampai Habiburokhman dalam sidang virtual yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Anggaran dan Verifikasi
DPR mendapatkan gambaran biaya dari KPU mengenai besaran biaya yang dibutuhkan untuk Pemilu 2019. Habiburokhman mengatakan bahwa dibutuhkan dana yang sangat besar untuk verifikasi faktual partai politik. Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan pasal a quo, pembentuk undang-undang memutuskan bahwa partai politik yang telah lulus verifikasi tidak perlu untuk diverifikasi kembali. Hal ini dilakukan atas dasar menghemat anggaran negara dan pemanfaatan norma a quo. Artinya, ketika pembentuk undang-undang membentuk suatu norma harus pula berhadapan dengan kewajiban akan kemanfaatan dari suatu norma yang harus mengandung nilai-nilai dasar, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
“Oleh karena itu, pembentuk undang-undang menilai proses verifikasi tidak dapat diletakkan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur soal proses pendaftaran dan penetapan partai politik sebagai peserta pemilu. Hal ini sesuai dengan konstruksi dan tafsiran yang dibangun dalam peraturan KPU sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Pemilu, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penerapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang mengatur perihal penelitian partai politik calon peserta pemilu guna meneliti kelengkapan, keabsahan, dan kebenaran dokumen persyaratan partai politik calon peserta pemilu,” jelas Habiburokhman.
Implementasi selama ini, terang Habiburokhman, verifikasi partai politik dilakukan metode sample acak sederhana atau mendata sensus yang tidak menyeluruh sebagaimana seharusnya jika ingin melaksanakan sebenar-benarnya verifikasi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang menilai anggaran pemilu lebih baik dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting sifatnya.
“Hal ini dikarenakan proses verifikasi partai politik membutuhkan anggaran yang begitu besar dan hal ini jelas bertentangan dengan salah satu landasan pelaksanaan pemilu serentak yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013,” tandasnya.
Administrasi Pemilu
Yusharto Kuntoyono selaku Staf Ahli Menteri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik yang menjadi wakil dari Pemerintah menyebutkan bahwa ketentuan norma UU Pemilu bermakna setiap partai politik yang akan ikut serta dalam pemilu wajib melakukan pendaftaran dan verifikasi. Jika memenuhi semua persyaratan, maka akan ditetapkan sebagai peserta pemilu. Sedangkan jika tidak dilakukan pendaftaran dan verifikasi justru hal tersebut akan menimbulkan cacat hukum administrasi kepemiluan. Sebab segala sesuatunya harus mengacu pada asas penyelenggaraan pemilu, yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsionalitas, profesional, akuntabilitas, efisien, dan efektif. Sehingga, sambung Yusharto, verifikasi partai politik terhadap kantor, kepengurusan, dan keanggotaan untuk mempermudah KPU dalam berkomunikasi dengan partai politik, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Ketika partai politik tersebut tidak mewakili keterwakilan di DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, maka aktivitas partai politik tersebut bisa dikatakan berhenti pascapemilu dan baru mulai kembali ketika pemilu berikutnya akan diselenggarakan. Sehingga pada saat akan pemilihan, setiap partai politik harus diverifikasi, baik yang sudah lolos di tahun-tahun sebelumnya maupun yang baru,” terang Yusharto.
Kepercayaan Rakyat
Yusharto lebih lanjut mengungkapkan bahwa verifikasi partai politik telah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan adanya putusan MK, sesuai dengan ketentuan hukum, dan semua partai politik telah melewati tahapan dalam verifikasi dengan menjalani penelitian kepengurusan, keterwakilan 30% pengurus perempuan, dan domisili kantor yang diperiksa oleh KPU. Secara substansi, segala sesuatu hal tersebut telah terarah dan terukur dengan dilaksanakannya verifikasi partai politik secara menyeluruh. Selain itu, dengan adanya verifikasi partai politik yang sudah efisien, maka penyederhanaan partai politik yang dilakukan oleh KPU dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Bahwa partai-partai yang mengikuti pemilu adalah partai yang telah memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolok ukur kepercayaan rakyat terhadap partai-partai tersebut. Secara prinsip, seluruh partai yang mengikuti pemilu mutlak dilakukan verifikasi, baik terhadap partai lama maupun partai yang baru,” tegas Yusharto.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyebutkan dikarenakan sidang hari ini merupakan sidang terakhir maka diharapkan keterangan ahli dari Pemohon dapat diserahkan dalam kesimpulan yang diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 16 Desember 2020, pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU Pemilu ini dimohonkan oleh Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili oleh Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum DPP dan Abdullah Mansuri selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Garuda. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mendalilkan penerapan verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah mengikuti pemilu adalah bertentangan dengan asas legalitas dan menciderai kepastian hukum yang adil dan hak kemudahan serta perlakuan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat dari hasil verifikasi yang telah dilakukan sebelumnya.
Sejatinya, Pemohon telah mengikuti pemilu dengan memenuhi semua persyaratan sebagaimana dalam Pasal 173 Ayat (2) UUD 1945. Persyaratan untuk menjadi peserta pemilu telah dilakukan oleh Pemohon dengan mengeluarkan biaya yang besar serta proses yang panjang dan melelahkan.
Dalam perspektif tujuan hukum, keberadaan partai politik adalah untuk menciptakan kemanfaatan untuk kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemohon melihat bahwa adanya verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah menjadi peserta pemilu merupakan bentuk penyimpangan terhadap kemanfaatan hukum tersebut. Pemohon berpendapat partainya yang telah mengikuti pemilu sebelumnya, sehingga tidak perlu lagi dilakukan proses verifikasi untuk pemilu selanjutnya. Sesuai dengan namanya, verifikasi merupakan upaya konfirmasi kebenaran faktual terhadap berbagai persyaratan. Sehingga norma persyaratan dan hasil verifikasi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena hasilnya tersebut terus berlaku melekat pada partai politik yang bersangkutan.
Menurut Pemohon, adanya verifikasi pada tiap penyelenggaraan pemilu bertentangan dengan kebiasaan administratif yang diterapkan di Indonesia. Selain itu, standar politik hukum dalam wacana penyederhanaan partai politik melalui verifikasi ulang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945 dan berseberangan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Partai Garuda dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya.”
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.