JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya uji Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) yang diajukan oleh Pina Aprilianti pada Rabu (25/11/2020). “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan Perkara Nomor 82/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, permasalahan perkara yang harus dijawab oleh Mahkamah mengenai kebenaran norma Pasal 8 UU 44/2008 tidak melindungi hak warga negara khususnya perempuan. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, hukum pada dasarnya merupakan manifestasi eksternal keadilan yang rohnya berupa perwujudan hukum. Oleh karenanya, sambung Arief, keadilan dalam hukum dapat dicapai jika negara dapat mengakui, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negara. Kewajiban negara tersebut merupakan aktualisasi prinsip kesamaan dan kesederajatan yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila yang harus dilakukan secara proporsional.
“Dalam konteks pornografi, pada satu sisi negara harus senantiasa berdiri di depan pintu hak privasi warga negara untuk menjamin pemenuhan hak asasi warga. Pada sisi lainnya, negara pun harus menjamin terlaksananya kewajiban asasi warga negara sebagai konsekuensi logis dalam kehidupan sosial dan bernegara yang sesuai dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras, golongan, maupun jenis kelamin (gender),” papar Arief.
Baca juga: Merasa Jadi Korban, Terdakwa Kasus Video Asusila Uji Objek Pornografi
Arief melanjutkan guna melihat adanya jaminan perlindungan atas hak warga negara khususnya perempuan dalam Pasal 8 UU Pornografi ini, maka harus dilihat rumusan norma dalam pasal tersebut. Lebih konkret melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XVII/2019 bertanggal 23 Oktober 2019 penggunaan frasa “setiap orang” dalam Pasal 8 UU tersebut tidaklah mengandung bias perlindungan gender. Pada konteks perlindungan terhadap perempuan, Arief mengatakan bahwa norma ini telah tegas menyatakan salah satu tujuan dari dibentuknya ketentuan ini adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Arief memaparkan bahwa hal demikian merupakan bentuk respons negara dalam mengatasi fenomena di masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai sasaran utama dalam banyak kasus asusila. Keberadan norma ini tidak lain untuk melindungi semua orang tanpa mengenal jenis kelamin tertentu.
“Oleh karena itu, terlepas dari kasus konkret yang dialami, maka menjadi perhatian bagi para penegak hukum dalam menerapkan Pasal 8 UU 44/2008 harus lebih cermat dan hati-hati ketika menetapkan status pelaku atau korban tindak pidana pornografi,” terang Arief dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Pemohon Uji UU Pornografi Perkuat Argumentasi Permohonan
Penerapan Norma
Sementara itu, terkait dengan penerapan norma Pasal 8 UU Pornografi, Arief menyampaikan bahwa hal ini harus dikaitkan pula dengan unsur norma lain dari undang-undang a quo. Sehingga diperoleh fakta hukum yang komperehensif bahwa pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pornografi telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana pornografi yang disangkakan. Bertalian dengan pertimbangan ini, dalam pendirian Mahkamah bahwa terhadap norma yang mengatur sanksi pemidanaan dalam sebuah undang-undang adalah kewenangan dari pembentuk undang-undang. Karena hal yang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan atau pembatasan hak asasi warga negara tersebut, diperlukan representasi dari kehendak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat. “Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 8 UU 44/2008 tidak melindungi hak warga negara khususnya perempuan, adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Arief.
Pada sidang sebelumnya, kuasa hukum Pemohon, Asri Vidya Dewi mengutarakan hak konstitusional Pemohon dirugikan akibat adanya kasus konkret dari pemberlakuan pasal a quo. Pemohon yang bernama Pina Aprilianti diputus bersalah dengan vonis kurungan penjara selama tiga tahun karena dianggap menyediakan diri atau turut serta sebagai ‘objek atau model’ dalam video pornografi. Hal ini terjadi saat Pemohon hendak melaporkan pada pihak yang berwenang akan adanya video asusila yang telah disebarkan dan diperjualbelikan oleh suami siri Pemohon di jejaring sosial tanpa sepengetahuan dirinya. Pemohon sejatinya berusia 16 tahun ketika menikah dengan lelaki yang usianya terpaut 14 tahun dengan Pemohon, yang diindikasikan memiliki perilaku seksual menyimpang.
Berpedoman pada Pasal 4 UU Pornografi, jelas ada batasan ranah pribadi atau privasi serta penegasan akan larangan untuk kegiatan yang sifatnya memperbanyak dalam rangka penyebarluasan dan komersialitas serta bukan untuk hal-hal selain itu. Melalui pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 48/PUU-VII/2010 pun telah menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi tentang ’tujuan pribadi’ adalah konstitusional. Maka, kehadiran Pasal 8 UU Pornografi telah menciptakan dua subjek pelaku pada rangkaian kegiatan terkait pornografi, yakni objek atau model tanpa adanya penegasan konteks menyebarluaskan dan komersialitas. Selain itu, Pemohon juga menilai pasal a quo telah membuka peluang bagi negara untuk masuk pada ranah pribadi. Hal ini berbeda dengan Penjelasan Pasal 4, yang justru membatasi negara untuk masuk ke ranah pribadi. Penjelasan Pasal 8 tersebut hanya menerangkan mengenai motif atau keadaan yang membuat seseorang kemudian bersedia menjadi ‘objek atau model’. Namun, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terbukti maka pelaku dapat saja dipidana. Padahal masih ada banyak faktor lain yang dapat memengaruhi seseorang bersedia menjadi ‘objek atau model’, termasuk alasan kepentingan pribadi yang menjadi hak privasi baginya.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Tiara Agustina