JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Selasa (24/11/2020). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam perkara ini, Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Allan menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonan di antaranya kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, dan alasan/argumentasi permohonan. Lebih jelasnya, Allan mengatakan dalam hal uji formil UU a quo, dirinya sebagai warga negara sekaligus pengajar hukum tata negara punya hak pilih dalam pemilihan umum dan memberikan mandat secara konstitusional kepada DPR. Allan merasa dikecewakan dengan penyusunan dan pembahasan UU 7/2020 yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Seharusnya, sambung Allan, tahapan penyusunan norma tersebut harus dilakukan dengan teknik yang diatur dalam norma yang telah ditentukan.
Baca juga: Syarat Usia Hakim Konstitusi Diuji
“UU MK ini benar-benar tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam pembahasannya juga telah dibuktikan bahwa beberapa prosedurnya dilakukan dengan tergesa-gesa dan kami tidak bisa mengakses dokumen yang dibutuhkan. Pemohon kecewa dengan produk yang dibuat pembuat undang-undang ini,” jelas Allan secara virtual kepada Wakil Ketua MK Aswanto selaku ketua Sidang Panel dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota Sidang Panel.
Sementara itu terkait dengan alasan/argumentasi permohonan sehubungan dengan kerugian Pemohon, Allan mengatakan bahwa saat ini dirinya masih berusia 28 tahun dan kelak berpotensi menjadi calon hakim MK saat memasuki usia 47 tahun. Namun karena keberlakukan UU a quo, ia pun harus menunggu lagi hingga 8 tahun berselang untuk dapat mengajukan diri sebagai calon hakim konstitusi. Atas hal ini, Pemohon menilai aturan tersebut merugikan hak konstitusionalnya dalam memperoleh perlakuan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini untuk menjadi calon hakim MK.
Pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar MK pada Selasa (10/11/2020) lalu, Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai warga negara pembayar pajak memiliki kesungguhan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan, pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, serta penegakan hak konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusionalisme UUD 1945. Menurut pandangan Pemohon, proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945.
Selanjutnya terkait dengan uji materiil UU MK, Pemohon menyatakan pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terdapat perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun. Menurut Pemohon, hal tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata, bahkan alasan menaikkan syarat usia hakim konstitusi tidak dapat ditemukan dalam Naskah Akademik UU MK. Terlebih lagi, sambung Azhar, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013. Sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Pemohon juga mengungkapkan pasal yang diuji bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 karena sejatinya syarat sebagai hakim konstitusi dalam UUD 1945 terbatas pada harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan demikian, kendati seorang warga negara calon hakim konstitusi belum memenuhi ketentuan pasal a quo, namun memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, calon hakim konstitusi tersebut harus dimaknai telah memiliki hak konstitusional untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Untuk itu, Pemohon meminta agar MK menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Raisa Ayuditha