JAKARTA, HUMAS MKRI - Organ pembentuk undang-undang meskipun memiliki legitimasi dari rakyat, namun tidak dapat membentuk undang-undang dengan kehendak sendiri. Melainkan terdapat serangkaian prosedur yang harus diikuti agar undang-undang tersebut memiliki legalitas, berkualitas, dan mencerminkan kehendak publik.
Demikian diungkapkanoleh pakar Hukum Tata Negara Susi Dwi Harijanti, saat bertindak sebagai ahli yang dihadirkan Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya selaku Pemohon perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020. Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ini digelar pada Rabu (18/11/2020). Persidangan digelar MK untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Berkaitan dengan procedural due process ini, Susi mengutip pendapat Hans Kelsen yang mengatakan bahwa fungsi pembentukan sebuah undang-undang merupakan sebuah fungsi penuh (total function) yang terdiri dari beberapa fungsi (partial function). Artinya, prosedur pembentukan undang-undang merupakan rantai tindakan hukum (chain of legal act) untuk menghasilkan undang-undang sebagai sebuah tindakan negara yang penuh dengan cara yang sah. “Sebagai sebuah rantai tindakan, maka prosedur merupakan serangkaian tahapan yang akan memperlambat dan mempersulit proses pembentukan undang-undang,” kata Susi.
Menurut Susi, perlambatan tersebut penting untuk memastikan bahwa undang-undang yang dibentuk telah melalui deliberasi yang cukup agar warga negara terinformasi dengan baik mengenai adanya undang-undang yang akan dibentuk ataupun diubah. Dari perspektif demokrasi, terinformasinya warga negara mengenai adanya rencana pembentukan atau perubahan undang-undang menjadi sangat penting karena akan memberikan kesempatan bagi warga untuk melakukan diskursus publik. Bahkan, apabila diperlukan demontrasi untuk menolak sebuah rancangan undang-undang yang berpotensi merugikan publik dan pada sisi inilah procedural due process memiliki korelasi dengan subtantive due process, yaitu procedural due process bertujuan untuk memastikan substantive due process berupa undang-undang yang berkualitas dapat terpenuhi. Oleh karena itu, pembentukan undang-undang pada dasarnya merupakan tindakan mentransformasi apa yang disebut oleh Bodenheimer sebagai sumber hukum nonformal menjadi sumber hukum formal.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
“Oleh karena itu, prosedur pada dasarnya bertujuan untuk memastikan bahwa pembentuk undang-undang benar-benar melaksanakan tugasnya untuk mengurai dan menimbang berbagai sumber hukum nonformal tersebut agar dapat menghasilkan undangundang yang paling rasional,” sampai Susi dalam sidang yang digelar secara virtual dengan dipimpin Ketua MK Anwar Usman bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Batal Demi Hukum
Selanjutnya, Susi menerangkan pernyataan Pemohon terkait implikasi hukum yang muncul terhadap sebuah undang-undang jika saat pembentukan, pembentuk undang-undang tidak memenuhi ketentuan mengenai tata cara pengambilan persetujuan dalam Rapat Paripurna yang diatur dalam Pasal 152 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR RI. Dari perspektif ketatanegaraan, Susi mencermati, pelanggaran terhadap peraturan demikian dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan yang demokratis. Peraturan Tatib DPR sebenarnya dapat pula dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan yang diakui. Oleh karenanya, peraturan tersebut merupakan sumber hukum formal dalam pembentukan undang-undang dan memiliki sifat hukum.
“Oleh karena itu, jika pembentuk undang-undang ini tidak memenuhi prosedur yang ada, maka dari awal sejak kelahirannya, proposisi yang tidak mengandung sifat hukum itu adalah batal dan dalam tradisi hukum di Indonesia sebagai batal demi hukum,” jelas Susi.
Keterlibatan DPD
Berikutnya Susi menyebutkan mengenai keterkaitan otonomi daerah dilakukan tanpa melibatkan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Mengutip pendapat Bagir Manan, kehadiran DPD dilandasi oleh gagasan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. Sebagai sebuah lembaga yang merupakan substitusi dari utusan daerah, sifat keanggotaan DPD bersifat individu dan tidak mewakili kekuataan politik tertentu.
“Dengan demikian, dalam konteks pembentukan Undang-Undang Minerba yang di dalamnya memiliki implikasi besar terhadap daerah, baik dari aspek lingkungan maupun dari aspek pendapatan daerah menjadikannya terikat dengan ketentuan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, dalam hal Undang-Undang Minerba bahwa Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 adalah sumber validitas dari undang-undang tersebut. Dengan tidak dilaksanakannya ketentuan tersebut, secara hukum dapat berdampak pada keabsahan UU a quo, yang akhirnya dapat membuatnya batal demi hukum apabila tidak memuhi ketentuan tersebut,” terang Susi.
Baca Juga:
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Asas Kehasilgunaan
Pakar Hukum Tata Negara Wicipto Setiadi selaku ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 juga menyoroti pembentukan UU Minerba. Menurutnya, meskipun UU Minerba memiliki daya laku karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang, tidak memenuhi asas kehasilgunaan dan asas dapat dilaksanakan. Hal ini terjadi karena proses pembentukannya mengabaikan suara penolakan dari berbagai pemangku kepentingan serta meminimalkan asas keterbukaan dengan tidak melibatkan pemangku kepentingan.
Menurut Wicipto, berpedoman pada Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Jadi, jika ketentuan dalam norma tersebut tidak dilaksanakan, secara formal terdapat cacat dalam proses penyusunannya,” terang Wicipto.
Sistem Mewaris
Wicipto mengungkapkan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masuk dalam Prolegnas 2014-2019. Namun karena masa keanggotaan DPR RI periode 2014-2019 berakhir, maka RUU tersebut sama sekali belum pernah dilakukan pembahasan pada masa keanggotaan DPR Periode 2014-2019.
Dengan kata lain, sistem mewaris atau carry over ada akibat diubahnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. “Maka dapat dikatakan bahwa pembentukan UU Minerba telah mengalami cacat secara formal karena tidak memenuhi syarat prioritas carry over pada DPR periode 2019-2014,” tandasnya.
Baca Juga:
Pemerintah: Perubahan UU Minerba Dilakukan Guna Memperbaiki Kontribusi Sektor Pertambangan
Perlu diketahui, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Adapun Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Sementara itu, permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar mengingatkan sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada 8 Desember 2020, pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dua orang ahli dari Pemohon Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha