JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (12/11/2020) siang. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan gabungan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 95/PUU-XVIII/2020 ini dilaksanakan oleh panel hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Setelah membuka persidangan yang dilaksanakan secara daring, Ketua Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat menginformasikan bahwa Pemohon Perkara Nomor 95/PUU-XVIII/2020 ditarik kembali. kembali karena satu dan lain hal. Terkait hal ini, Arief menanyakan kepada kuasa hukum Pemohon ikhwal surat penarikan permohonan yang dikirim ke MK.
“Dalam surat ini, Saudara menyatakan bahwa Prinsipal telah memberi kuasa kepada kami untuk mencabut (permohonan). Betul dicabut Permohonan Perkara 95/PUU-XVIII/2020 ini?” tanya Arief. “Siap. Betul, Yang Mulia,” jawab Himas Muhammady I. El Hakim, kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 95/PUU-XVIII/2020.
Selanjutnya, Panel Hakim mendengarkan dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diwakili kuasa para Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa. Para Pemohon adalah Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V).
Viktor Santoso Tandiasa mengungkapkan kepada Majelis Hakim, para Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia, yang memiliki kerugian konstitusional secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi apabila diberlakukan UU Cipta Kerja, yakni hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
“Pemohon I pernah berkerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang ditempatkan sebagai Technician Helper. Namun dengan adanya pandemi Covid, Pemohon I mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Hingga saat ini Pemohon I sedang berupaya mencari pekerjaan di tempat yang membutuhkan pengalaman sebagai Technician Helper atau yang sejenis. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap. Selain itu UU Cipta Kerja pada kluster Ketenagakerjaan juga terdapat ketentuan-ketentuan norma yang merugikan hak konstitusional Pemohon I untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Norma tersebut di antaranya memangkas waktu istirahat mingguan, menghapus sebagian kebijakan pengupahan yang melindungi buruh, menghapus sanksi bagi pelaku usaha yang tidak bayar upah,” jelas salah seorang kuasa Pemohon, Happy Hayati Helmi.
Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Setelah lulus SMK, Pemohon II pasti akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang dipelajari di sekolah. Menurut kuasa hukum Pemohon, bahwa Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja di berlakukan.
Selanjutnya, Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).
Menurut para Pemohon, berlakunya UU Cipta Kerja yang diyakini akan menjadikan pendidikan menjadi ladang bisnis yaitu kapitalisasi terhadap dunia pendidikan dapat dilihat pada ketentuan norma Pasal 150 UU Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (UU KEK) dengan mengubah Pasal 3 dan memasukkan pendidikan ke dalam kegiatan usaha Kawasan Ekonomi Khusus.
“Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang diyakini akan menjadikan Pendidikan menjadi ladang bisnis, yaitu kapitalisasi terhadap dunia pendidikan,” kata Happy Hayati Helmi, kuasa hukum para Pemohon.
Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V termasuk Pemohon II telah dilanggar hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya serta berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidupnya serta demi kesejahteraan umat manusia.
“Berdasarkan penjelasan para Pemohon tersebut, para Pemohon telah secara spesifik menjelaskan hak konstitusionalnya yang potensial dirugikan dan potensi kerugian dimaksud menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sehingga tampak adanya hubungan kausal antara kerugian konstitusional yang didalilkan dan berlakunya UU Cipta Kerja. Oleh karenanya, maka para Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo,” ucap Happy.
Viktor Santoso Tandiasa yang juga kuasa Pemohon, menyampaikan bahwa para Pemohon melakukan pengujian formil norma Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang” dan Pasal 22A, UUD 1945, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”
Para Pemohon menyampaikan alasan bahwa UU Cipta kerja merupakan Undang-Undang yang menerapkan konsep Omnibus Law dengan tujuan melakukan penyederhanaan pengaturan dengan mengubah 78 (tujuh puluh delapan) Undang-Undang ke dalam 1 (satu) UU Cipta Kerja yang terbagi atas 11 klaster. Dari 78 Undang-Undang yang materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian ketentuan normanya diubah ataupun dihapus pada saat proses pembahasan, terdapat beberapa pelanggaran terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan, diantaranya, asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Kemudian pada 5 Oktober 2020 DPR bersama Presiden telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dengan draf RUU Cipta Kerja sebanyak 905 halaman. Namun kemudian, Badan Legislatif (Baleg) mengatakan bahwa draf 905 halaman tersebut belum final, dan sedang di lakukan finalisasi. Adapula beredar draf RUU Cipta Kerja sebanyak 1035 halaman yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal DPR sebagai draf final RUU Cipta Kerja.
Setelah di cek antara draf RUU Cipta Kerja versi 905 halaman hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan draf RUU Cipta Kerja 1035 in casu bertambah 130 halaman, dengan terdapat adanya perubahan-perubahan substansi. Namun kemudian Sekretaris Jenderal DPR kembali menyatakan dalam keterangannya bahwa draf yang beredar dengan jumlah 812 halaman merupakan hasil perbaikan terkini yang dilakukan DPR. Bahwa artinya pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan menggunakan draf RUU Cipta Keja dengan jumlah 905 halaman, telah terjadi 2 (dua) kali perubahan draf RUU Cipta Kerja yakni menjadi 1035 halaman dan kemudian berubah lagi menjadi 812 halaman. Perubahan draf RUU Cipta Kerja tersebut secara nyata dan terang benderang bukan terkait teknis penulisan, namun perubahan terkait dengan substansi materi muatan. Hal ini telah melanggar ketentuan norma Pasal 72 ayat (2) UU No. 12/2011 beserta penjelasannya.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengingatkan bahwa permohonan saat diajukan ke MK belum diberi nomor UU Cipta Kerja yang diuji. Wahid juga mengingatkan mengenai batas waktu pengujian formil.
“Terkait uji formil ini, di Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 bahwa batas waktu pengujian formil paling lambat 45 hari tenggatnya setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara. Nah, yang diajukan pengajuan ini ketika undang-undang ini belum disahkan dan belum dimuat dalam Lembaran Negara. Nanti ini menyusul perbaikannya, ya?” kata Wahid menasihati.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengomentari resume permohonan. “Resume itu ringkasan dari isi permohonan. Jadi tidak boleh yang di luar permohonan ini masuk dalam resume,” kata Manahan.
Terakhir, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta para Pemohon menegaskan soal kedudukan hukum para Pemohon. “Legal Standing di perkara pengujian materiil dan formil itu agak berbeda,” ucap Arief.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.