JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Selasa (10/11/2020). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam perkara ini, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih, Pemohon menyampaikan bahwa dirinya selaku warga negara pembayar pajak memiliki kesungguhan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan, pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, serta penegakan hak konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusionalisme UUD 1945. Menurut pandangan Allan, proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945.
“Dengan demikian, pembentukan UU MK telah melanggar ketentuan formil undang-undang yang dibentuk tanpa partisipasi publik karena proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas,” ungkap Allan yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII.
Selanjutnya terkait dengan uji materiil UU MK, Muhammad Azhar selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menguraikan, pada Pasal 15 ayat (2) huruf d yang berbunyi, “… berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun,“ terdapat perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun. Menurutnya, hal tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata, bahkan alasan menaikkan syarat usia hakim konstitusi tidak dapat ditemukan dalam Naskah Akademik UU MK. Terlebih lagi, sambung Azhar, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013.
“Sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum atas ketentuan norma ini,” jelas Azhar.
Di samping itu, Azhar juga mengungkapkan bahwa pasal yang diuji bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 karena sejatinya syarat sebagai hakim konstitusi dalam UUD 1945 terbatas pada harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan demikian, kendati seorang warga negara calon hakim konstitusi belum memenuhi ketentuan pasal a quo, namun memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, calon hakim konstitusi tersebut harus dimaknai telah memiliki hak konstitusional untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi.
“Pasal a quo senyatanya telah menimbulkan kerugian konstitusional warga negara yang belum berusia 55 tahun, tetapi memenuhi syarat sehingga hal itu menutup hak konstitusional warga negara yang pada dasarnya telah dijamin oleh konstitusi,” jelas Azhar.
Dengan alasan hukum tersebut, Pemohon meminta agar MK menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny memberikan beberapa catatan perbaikan permohonan di antaranya kedudukan hukum Pemohon. Menurut Enny, hal tersebut merupakan hal krusial sehingga harus diuraikan secara baik karena berhubungan langsung dengan hak yang diberikan UUD 1945 yang menurut anggapan Pemohon merugikan dirinya.
“Hak itu harus diuraikan, misalnya dengan Pasal 28D yang diberikan UUD 1945 itu dilanggar oleh pasal yang mana dari norma yang diujikan itu! Apakah norma itu keberlakuannya menimbulkan kerugian, spesifik atau aktual atau bahkan potensial?” jelas Enny pada Pemohon dan para kuasa hukum yang mengikuti persidangan secara virtual.
Untuk pengujian formil, sambung Enny, proses pembentukan UU yang diujikan Pemohon harus dibuktikan sehubungan dengan persoalan dari pembentukannya. Dari segi sistematika, naskah akademik yang dibuat DPR dan Pemerintah mencakup beberapa bab sebagaimana naskah akademik sebuah perancangan undang-undang. Terkait waktu yang dinilai terlalu cepat, Enny meminta agar Pemohon dapat memberikan bukti dari ketentuan syarat waktu yang ditetapkan. “Silakan cari bukti ada persoalan prosedur, mulai dari proses pembahasan Tahap I dan Tahap II, yang kemudian tidak dilalui sehingga pembentukan UU itu menjadi cacat. Ini buktikan ada persoalannya seperti apa saja,” ujar Enny.
Sementara itu, terhadap pengujian materiil yang diajukan Pemohon, Enny meminta agar Pemohon memberikan argumentasi konstitusionalitas norma yang diujikan secara rinci. Utamanya, Enny meminta diberikan argumentasi terkait norma yang dinyatakan dihapus sehingga dinilai telah merugikan Pemohon. Hal tersebut disampaikan Enny dengan harapan Pemohon dapat membangun argumentasi konstitusionalitas yang menjadi kewenangan MK dalam pengujian perkara konstitusional.
Pertentangan Norma
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan perihal pentingnya memperhatikan pasal-pasal dari UU MK dengan UUD 1945 yang menunjukkan pertentangan. Sebagai ilustrasi, Arief mencontohkan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK yang dinilai Pemohon bertentangan dengan pasal dalam UUD 1945. Arief menyatakan tidak menemukan uraian yang menjabarkan pertentangannya dengan konstitusi. “Di mana letak pertentangannya dengan UUD 1945? Saya tidak melihat pertentangan normanya,” tegas Arief.
Selain itu, Arief juga mendorong Pemohon mencermati Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait kedudukan hukum untuk mengajukan uji formil dan materiil. Merujuk putusan tersebut, syarat pengajuan uji formil dan materil tidak dapat disatukan karena kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Untuk itu, Pemohon harus memahami terlebih dahulu perbedaan dari tujuan kedua pengujian yang dimaksudkan tersebut.
Berikutnya, Wakil Ketua MK Aswanto memberikan nasihat terkait butir-butir pasal yang diujikan Pemohon karena dinilai menimbulkan kekeliruan. Dalam pandangan Aswanto, pasal yang disebutkan sangat banyak dan kurang spesifik sehingga dapat saja menimbulkan ambiguitas dan kesalahan pemahaman terhadap pasal yang benar-benar ingin diujikan Pemohon.
“Ini artinya pasal mana yang ingin diujikan? Ini Saudara meminta kembali pada makna pasal dari UU lama, kan? Atau lain yang diinginkan? Jadi, ini formulasikan kembali bahwa yang dipersoalkan adalah Pasal 1 angka 6, dan seterusnya,” urai Aswanto.
Sebelum mengakhiri persidangan, Aswanto mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 23 November 2020 pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK untuk kemudian dapat diagendakan waktu sidang berikutnya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayuditha