JAKARTA, HUMAS MKRI – Siapa pun dapat mengajukan permohonan baik perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo saat menjadi narasumber pada kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), pada Jum’at (6/11/2020) sore secara virtual. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.
Suhartoyo melanjutkan, selain perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU. “Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau dan Lembaga negara juga dapat mengajukan permohonan di MK,” ujarnya.
Sementara pemberian kuasa dalam beracara di MK baik pemohon dan/atau termohon dapat diwakili oleh kuasa hukum. Menurut Suhartoyo, kuasa hukum yang beracara di MK tidak harus advokat. Namun, lanjutnya, seorang advokat tersebut harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Selain dapat menujuk kuasa, pemohon dan/atau termohon juga dapat dilakukan pendampingan.
Lebih lanjut Suhartoyo mengatakan, dalam pengujian UU MK istilah yang digunakan adalah “permohonan” bukan “gugatan”. Karena pada hakikatnya hanya terdapat satu pihak sebagai pemohon. Sedangkan Presiden/Pemerintah dan DPR serta lembaga lainnya bukan sebagai pihak termohon namun hanya sebagai pemberi keterangan. Menurutnya, istilah “permohonan” menunjukkan bahwa pengujian undang-undang sesungguhnya bukan sengketa kepentingan para pihak. Dan putusan MK bersifat erga omnes meskipun dimohonkan oleh perseorangan/individu namun keberlakuan putusan secara umum dan mempengaruhi hukum di Indonesia.
Kemudian mengenai syarat “anggapan” adanya kerugian konstitusional, Suhartoyo menerangkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. “Yang mana kerugian konstitusional merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU. Jadi setiap warga negara memiliki hak konstitusi,” tegasnya. Kerugian konstitusional tersebut, sambung Suhartoyo, harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Suhartoyo juga mengatakan bahwa MK menjalankan fungsi menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 sesuai dengan kewenangannya. Adapun kewenangan MK yang pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kemudian, lanjut Suhartoyo, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Lalu, Memutus pembubaran partai politik, memutus hasil pemilu dan terakhir yakni memutus sengketa pilkada. Sementara kewajiban MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. “Kewenangan dalam menangani sengketa hasil pemilukada merupakan kewenangan tambahan yang diberikan kepada MK,” ujar Suhartoyo
Menurut Suhartoyo, kewenangan MK sendiri terdapat perbedaan hukum acaranya. Ketika MK menguji undang-undang yang kemudian dikenal dengan sebutan judicial review sifat perkaranya tidak ada sengketa kepentingan para pihak. “Ketika MK menjalankan fungsi menguji UU terhadap UUD, itu konten perkaranya bukan sengketa kepentingan para pihak. Tetapi kemasannya permohonan. Berbeda dengan hukum acara ketika MK menjalankan kewenangannya yang lain,” jelas Suhartoyo.
Dalam menjalankan kewenangan dalam menguji UU terhadap UUD, Suhartoyo menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian baik formil dan atau materiil. Pengujian formil adalah pengujian berkaitan dengan proses pembentukan.
“Jadi formalitas dari terbitnya UU itu sendiri yang tidak memiliki persyaratan formil,” jelas Suhartoyo. Sedangkan pengujian materiil, pengujian yang berkaitan dengan substansi dari UU itu berupa pasal, ayat atau bagian dari keduanya. Terhadap pengujian formil, lanjut Suhartoyo, jika permohonan dikabulkan, maka UU tersebut tidak berlaku karena tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Kalau pengujian materiil, jika permohonan dikabulkan, jika tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terbatas pada ayat, pasal atau kedua bagian dari ayat dan pasal Undang-Undang yang diajukan pengujian,” tandas Suhartoyo. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari