JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) pada Kamis (5/11/2020). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 88/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Ashvin Bayudewa dan 19 perseorangan Warga Negara Indonesia lainnya.
Ashvin dkk. mempersoalkan norma Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan, “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Para Pemohon merupakan pembeli unit Apartemen Antasari 45 yang dipasarkan PT Prospek Duta Sukses (PDS) selaku pihak pengembang atau developer sejak tahun 2014 dan berdasarkan perjanjian kepada konsumen/pembeli unit akan diserahterimakan pada tahun 2017. Namun hingga dengan awal tahun 2020, pembangunan belum selesai seperti yang dijanjikan.
Fuad Abdullah selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan para Pemohon telah dirugikan dengan dikabulkannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT PDS.
“Dengan diberlakukan Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004 maka hal tersebut bertentangan dengan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1) Pasal 28H Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4), Pasal 28J Ayat (1), Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak adanya penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula ‘hak agunan atas kebendaan lainnya’ terhadap posisi dan kedudukan pembeli unit apartemen,” ujar Achmad Umar yang juga bertindak selaku kuasa hukum para Pemohon.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga menjelaskan bahwa Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dan kejadian di lapangan telah merugikan Pemohon dengan menempatkannya pada posisi sebagai kreditor konkuren, pihak yang terakhir menerima bahkan berpotensi tidak menerima kompensasi atau ganti rugi apabila pengembang mengalami kepailitan. Dengan tidak dimasukkannya pembeli apartemen/rumah susun sebagai kreditor separatis, apabila terjadi pailit seperti yang sedang dialami oleh para Pemohon, selain berpotensi kehilangan apartemen yang telah dibelinya, para Pemohon juga berpotensi kehilangan dana yang telah dibayarnya baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Hal tersebut diakibatkan oleh perhitungan ganti kerugian terhadap para Pemohon selaku pembeli yang tidak didahulukan atau tidak diposisikan sebagai kreditur separatis maupun preferen (hanya kreditur konkuren). Akibatnya, hak-hak pembeli apartemen akan hilang. Pemohon kemudian berpandangan, akan dengan mudah bagi developer untuk mempermainkan posisi dan kedudukan pembeli unit apartemen/rumah susun dengan sengaja menggunakan kepailitan sebagai jalan untuk mengambil keuntungan dari pembayaran yang telah dibayarkan oleh konsumen/pembeli apartemen/rumah susun.
Dijelaskan lebih lanjut, dalam keadaan pailit kedudukan kreditor konkuren (pembeli apartemen/rumah susun) dalam hal pemberesan harta debitur (pelaku usaha/pengembang) pailit hanya akan mendapatkan pembagian harta pailit sesuai persentase, bahkan tidak memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan kerugian konsumen. Untuk itu, perlu perlindungan hukum bagi pembeli apartemen/rumah susun agar kepailitan tidak digunakan oleh pengembang yang tidak bertanggung jawab dalam rangka menghindari kewajibannya kepada konsumen dengan melindungi posisi dan kedudukan konsumen/pembeli apartemen/rumah susun dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Menurut Pemohon, hal tersebut diwujudkan dengan memasukkan konsumen/pembeli apartemen/rumah susun sebagai pemegang hak agunan atas kebendaan lainnya, sehingga posisi dan kedudukan konsumen/pembeli apartemen/rumah susun apabila terjadi pailit terhadap pengembang maupun developer, tidak sampai merugikan konsumen/pembeli apartemen/rumah susun.
Para Pemohon menegasksn, hak konsumen/pembeli apartemen/rumah susun tidak dapat dikalahkan oleh pihak lain sekali pun perusahaan (pihak pengembang) pailit. Sehingga, konsumen/pembeli apartemen/rumah susun tidak kehilangan haknya atas pembayaran yang telah dilakukannya selama proses kepailitan terjadi.
Disampaikan pula bahwa terdapat kreditor pemegang hak tanggungan yang berasal dari luar negeri. Terhadap hal tersebut, para Pemohon merujuk Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tentang Rumah Susun yang menegaskan bahwa penyelenggaraan rumah susun berasaskan pada kenasionalan sehingga memberikan landasan agar kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional. Berlandaskan kepada norma pasal tersebut, para Pemohon menegaskan, ganti rugi terhadap konsumen/pembeli apartemen/rumah susun warga negara Indonesia perlu didahulukan dari kreditor separatis asing.
Terhadap hal tersebut, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai pembeli sebagai kreditor separatis. Posisi tersebut diyakini Pemohon akan memberikan kepastian (hukum) tentang pembangunan dan pengembalian dana apabila terjadi pailit pada perusahaan pengembang. Pemohon juga meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional apabila tidak dimaknai konsumen/pembeli apartemen/rumah susun didahulukan pembayarannya.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum dan kerugian konstitusional. Enny juga menasihati para Pemohon agar melihat Putusan MK Nomor 2/PUU-XVIII/2020, Nomor 18/PUU-XVIII/2020 karena memiliki dasar pengujian yang sama yaitu Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
“Pemohonnya banyak, Anda tidak bisa menggelundungkan begitu saja. Anda harus menguraikan satu persatu. Karena kan tidak semua kedudukannya sama di situ. Kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya UU juga diuraikan,” terang Enny.
Hal serupa juga dikatakan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang menasihati para Pemohon agar menguraikan kerugian konstitusional yang dialami sehingga dapat meyakinkan MK. Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para Pemohon mengelaborasi pokok permohonan.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Permohonan disampaikan kepada Kepaniteraan MK paling lambat hari Rabu, 18 November 2020 pukul 10.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.
Foto: Gani.