JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) pada Senin (2/11/20). Sidang digelar di Ruang Sidang Pleno MK secara virtual oleh panel hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra selaku anggota.
Permohonan perkara yang teregistrasi Nomor 84/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Rosmanidar. Pemohon memberikan kuasa kepada Mohammad Yusuf Hasibuan dan Irfandi, serta Afandi Arief untuk menyampaikan kerugian hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 6 UU Hak Taggungan.
Pasal 6 UU Hak Taggungan menyatakan, ”Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.” Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Yusuf menceritakan permohonan ini berangkat dari kasus konkret. Pemohon adalah ahli waris debitur atas nama Mardi Can yang tidak mendapatkan haknya atas keberlakuan Pasal 6 UU Hak Taggungan karena tidak memiliki kejelasan terkait dengan meninggalnya debitur. Apakah seluruh ahli waris yang bertanggung jawab atas piutang tersebut ataupun penunjukan ahli waris diberikan kewenangan secara mutlak untuk bertanggung jawab terhadap pelunasan kewajiban debitur, meskipun ada beberapa ahli waris atau bukan ahli waris tunggal.
Lebih lanjut Yusuf menyatakan, apabila dibandingkan dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Tanggungan yang pada intinya menyatakan jika kreditur meninggal dunia atau piutang dijaminkan oleh hak waris beralih karena pewarisan, maka hak tanggungan tersebut beralih pada kreditur baru dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan. Namun jika debitur yang meninggal dunia, maka peralihan secara hukum terhadap ahli waris debitur tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna mendapatkan kepastian hukum. Hal demikian sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena disatu sisi kreditur mendapatkan kepastian hukum, sedangkan Pemohon sebagai ahli waris debitur tidak mendapatkan kepastian hukum.
“Dengan demikian, terdapat perbedaan kedudukan hukum antara ahli waris debitur dengan ahli waris kreditur atau kreditur yang baru. Di mana ahli waris debitur tidak ada pengakuan dan jaminan hukum atas kepemilikan objek hak tanggungan yang dimilikinya sebagaimana pemberi hak tanggungan. Sehingga dengan berlakunya Pasal 6 UU Hak Tanggungan, Pemohon sebagai ahli waris debitur tidak mendapatkan haknya secara hukum, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum,” jelas Yusuf.
Perbedaan Permohonan
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasihati Pemohon agar melihat kembali putusan MK terdahulu seperti Putusan Nomor 70/PUU-VIII/2010. Wahiduddin mengungkapkan meski dasar pengujiannya berbeda dengan yang diajukan Pemohon saat ini, namun amar putusan MK menyatakan menolak.
“Untuk itu, penting Pemohon melihat pengujian dengan berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) ini adakah perbedaan terkaitnya jika dulu yang digunakan Pasal 27 ayat (2) dan 28D ayat (1) dan sekarang Pasal 28G ayat (1). Mohon dilihat dan dicermati kaitannya,” jelas Wahiduddin.
Selain itu, Wahiduddin juga menyarankan agar Pemohon tak hanya mengungkapkan kasus konkret yang dialami tetapi juga membuatkan uraian mendalam atas adanya pertentangan norma dengan pasal dari UUD 1945. Sehingga, pada Petitum menjadi lebih kuat pernyataan yang menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Argumentasi Konstitusional
Nasihat berikutnya diberikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengatakan apabila Pasal 6 UU Hak Tanggungan dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), maka harus dijelaskan sebab perertentangan yang dimaksudkan. Dalam permohonan ini, sambung Saldi, belum muncul alasan-alasan yang menjelaskan kenapa norma undang-undang yang dimohonkan bertentangan dengan konstitusi.
“Itu yang akan dinilai oleh Mahkamah. Jika tidak ada penjelasan dan argumentasi terhadap hal tersebut, nantiya dapat saja diputuskan Permohonan ini kabur. Maka ini harus dijelaskan karena MK tidak akan mengadili kasus konkret karena MK hanya hadir untuk menilai konstitusionalitas norma,” sebut Saldi.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengatakan, berkaitan dengan ahli waris yang menjadi Pemohon diharapkan dapat dibuktikan dalam sebuah surat bukti, yang menunjukkan dirinya benar-benar adalah istri dari yang mengalami kasus ini atau sebagai debitur yang dirugikan dalam kasus konkret tersebut.
Sebelum mengakhiri sidang, Manahan mengingatkan Pemohon apabila ingin memperbaiki permohonan. Penyerahan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 16 November 2020, pukul 13.30 WIB ke Kepaniteraan MK. Setelah itu, MK akan mengagendakan sidang berikutnya.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
Foto: Gani.