JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pada Senin (26/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 82/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Pina Aprilianti, perempuan asal Garut yang tengah menjalani masa tahanan.
Dalam sidang kedua ini, Pemohon melalui Asri Vidya Dewi selaku salah satu kuasa hukum menyampaikan beberapa poin perbaikan permohonan. Salah satunya, mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diruntutkan mulai dari Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hingga Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca Juga: Merasa Jadi Korban, Terdakwa Kasus Video Asusila Uji Objek Pornografi
Dua Norma Kontradiktif
Pemohon juga memperkuat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang memuat lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional warga negara. Berikutnya, Asri mengutarakan terkait pertentangan antara Pasal 8 dengan Pasal 4 Undang-Undang Pornografi. Menurutnya, kehadiran Pasal 8 UU a quo, telah menciptakan dua subjek pelaku pada rangkaian kegiatan terkait pornografi yang sebenarmya telah jelas diatur dalam Pasal 4 UU a quo.
“Dari hal ini terdapat dua norma yang berlaku secara bertentangan atau kontradiktif dalam satu undang-undang, ada yang membolehkan sekaligus juga tidak membolehkan membuat dokumentasi sebagai bentuk kebebasan ekspresi hanya untuk dan kepentingan dirinya sendiri,” sampai Asri pada Majelis Hakim Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku ketua sidang, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul serta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku anggota.
Dalam argumentasi berikutnya, Pemohon juga menyatakan bahwa semua hal yang terkandung dalam Pasal 8 UU a quo telah terkandung dalam Pasal 4 UU a quo dan bahkan lebih tegas dan detail. Di dalamnya telah mengatur larangan memproduksi dan membuat secara logika, otomatis, ada objek, dan modelnya. Sehingga Pasal 4 UU a quo telah benar dengan mengecualikan jika untuk dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri. Oleh karenanya, Pemohon menilai keberadaan Pasal 8 UU Pornografi tidak diperlukan karena menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Ketidaksesuaian Asas
Asri menjelaskan Pasal 8 UU Pornografi harusnya dihapuskan karena ada ketidaksesuaian asas formil berupa asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya asas kejelasan tujuan. Tujuan dari UU Pornografi adalah memberi kepastian hukum dan perlindungan dengan penekanan terhadap kelompok rentan, yaitu anak dan perempuan. Adapun dalam Pasal 8 UU a quo telah gagal mencapai asas kejelasan tujuan tersebut karena sudah diatur dalam Pasal 4 UU a quo. Sehingga pertentangan norma antarpasal tersebut membuat kejelasan tujuan menjadi kontradiktif.
Unsur sistematika dalam asas kejelasan rumusan dari UU terdapat tumpang tindih norma dengan undang-undang lain. Sebagai contoh Asri menggambarkan keterkaitan norma a quo dengan keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Dalam norma Pasal 8 UU Pornografi, pada praktiknya banyak berdampak pada perempuan yang seringkali tumpang tindih dengan UU TPPO, sebab objek atau model pornografi seringkali dari korban perdagangan orang. Kemudian Pasal 8 UU Pornografi diterapkan dalam konteks penyebarluasan dan komersialitas. Dengan demikian, menurut Asri, frasa “objek atau model” perlu dimaknai sebagai kegiatan yang menghasilkan keuntungan materiil.
“Lebih dari itu karena pihak terdampak seringkali perempuan, maka kata-kata atau frasa “ancaman, kekuasaan, tekanan, bujukan, dan tipu daya” yang termuat dalam penjelasan norma juga perlu dipandang dengan sudut pandang persoalan perempuan yang nyata dan tidak bisa hanya dengan penilaian harfiah semata,” jelas Asri yang menyampaikan materi perbaikan secara virtual.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon mengutarakan hak konstitusionalnya dirugikan akibat adanya kasus konkret dari pemberlakuan pasal a quo. Pemohon diputus bersalah dengan vonis kurungan penjara selama tiga tahun karena dianggap menyediakan diri atau turut serta sebagai ‘objek atau model’ dalam video pornografi.
Hal ini terjadi saat Pemohon hendak melaporkan pada pihak yang berwenang akan adanya video asusila yang telah disebarkan dan bahkan diperjualbelikan oleh suami siri Pemohon di jejaring sosial tanpa sepengetahuan dirinya. Pemohon sejatinya berusia 16 tahun ketika menikah dengan lelaki yang usianya terpaut 14 tahun dengan Pemohon, yang diindikasikan memiliki perilaku seksual menyimpang.
Berpedoman pada Pasal 4 UU Pornografi, jelas ada batasan ranah pribadi atau privasi serta penegasan akan larangan untuk kegiatan yang sifatnya memperbanyak dalam rangka penyebarluasan dan komersialitas serta bukan untuk hal-hal selain itu. Melalui pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 48/PUU-VII/2010 pun telah menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi tentang ’tujuan pribadi’ adalah konstitusional. Maka, kehadiran Pasal 8 UU Pornografi telah menciptakan dua subjek pelaku pada rangkaian kegiatan terkait pornografi, yakni objek atau model tanpa adanya penegasan konteks menyebarluaskan dan komersialitas.
Selain itu, Pemohon juga menilai pasal a quo telah membuka peluang bagi negara untuk masuk pada ranah pribadi. Hal ini berbeda dengan Penjelasan Pasal 4, yang justru membatasi negara untuk masuk ke ranah pribadi. Penjelasan Pasal 8 tersebut hanya menerangkan mengenai motif atau keadaan yang membuat seseorang kemudian bersedia menjadi ‘objek atau model’. Namun, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terbukti maka pelaku dapat saja dipidana. Padahal masih ada banyak faktor lain yang dapat memengaruhi seseorang bersedia menjadi ‘objek atau model’, termasuk alasan kepentingan pribadi yang menjadi hak privasi baginya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: M. Halim.
Foto: Gani.