JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materiil Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 79/PUU-XVIII/2020, Senin (26/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca Juga:
Kolektor Internal Perusahaan Pembiayaan Uji UU Jaminan Fidusia
Sebelumnya, Joshua Michael Djami selaku Pemohon yang merupakan karyawan perusahaan finance dengan jabatan selaku kolektor internal. Pemohon mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya Undang-Undang dalam perkara a quo. Permasalahan-permasalahan tersebut di antaranya berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia dikarenakan pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak.
Pemohon beralasan, Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon beranggapan sudah menjadi suatu keharusan bahwa ketika pemberi hak fidusia cidera janji atau wanprestasi, pihak pemberi hak fidusia wajib menyerahkan objek jaminan fidusia kepada pihak penerima hak fidusia (kreditur), dan apabila pemberi hak fidusia tidak menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut pada saat eksekusi dilaksanakan, penerima hak fidusia berhak mengambil objek jaminan fidusia dan apa bila diperlukan dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
Menurut Pemohon, adanya ketentuan a quo menimbulkan bentuk-bentuk pelanggaran hak terhadap Pemohon yang berkedudukan sebagai kolektor yang bertugas di bidang penagihan dan eksekusi agunan di perusahaan finance. Pemohon menjalankan tugasnya dengan itikad baik, sesuai prosedur dan tidak melakukan suatu intimidasi ataupun kekerasan fisik. Pemohon justru melakukan negosiasi secara damai terlebih dahulu dalam melakukan penagihan dan eksekusi objek jaminan fidusia, namun Pemohon mendapatkan tanggapan yang berbanding terbalik dari pihak pemberi hak fidusia.
Baca Juga:
Kolektor Finance Perbaiki Permohonan Uji UU Fidusia
Dalam pertimbangan hukum putusan, Mahkamah menyoroti sidang perbaikan permohonan pada 14 Oktober 2020. Perbaikan permohonan Pemohon pada dasarnya telah memenuhi format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/PMK/2005.
“Namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama ternyata terdapat kesalahan dalam penulisan kutipan pasal yang menjadi objek pengujian. Pemohon dalam hal ini menyatakan norma yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 akan tetapi yang dikutip ternyata merupakan materi muatan Pasal 15 ayat (3) UU No. 42/1999,” urai Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pendapat Mahkamah.
Selain kesalahan kutipan tersebut di atas, Mahkamah mencermati Pemohon tidak konsisten menyebutkan secara tegas mengenai objek permohonannya. Pada bagian perihal permohonan Pemohon hanya menyebutkan pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999. Namun pada kedudukan hukum dan alasan permohonan, uraian pada kedua bagian tersebut dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang telah memaknai Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999.
Adapun pada bagian petitum, Pemohon menyebutkan kedua objek permohonan secara alternatif yakni Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebelum ada Putusan Mahkamah atau Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 yang telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 18/PUU-XVII/2019.
“Dengan adanya inkonsistensi tersebut, maka dalam batas penalaran yang wajar objek permohonan Pemohon menjadi tidak jelas. Seharusnya terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang telah diputus Mahkamah, maka penyebutannya ditambahkan dengan pemaknaan sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan a quo sebagaimana dinasihatkan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, seyogyanya secara tegas dan konsisten menyebutkan Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUUXVII/2019. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah kabur,” tandas Enny.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.
Foto: Gani.