JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini dibacakan oleh Majelis Hakim dari Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (26/10/2020) siang.
Permohonan diajukan oleh Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa yang merupakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Papua Bersatu. Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional sebagaimana tertera dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang disebabkan oleh frasa “partai politik” dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Otsus Papua. Para Pemohon berdalil frasa “partai politik” dalam pasal tersebut bersifat multitafsir, sehingga telah menghalangi dan melanggar hak konstitusional para Pemohon untuk mendirikan partai politik lokal di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta ikut serta dalam pesta demokrasi lokal di Indonesia.
Selain itu, menurut para Pemohon frasa dimaksud telah menyebabkan ketidakpastian yang menyebabkan penyelenggara Pemilu tidak menindaklanjuti dokumen-dokumen Partai Papua Bersatu yang telah didaftarkan/diajukan secara berjenjang. Oleh karena itu menurut para Pemohon apabila frasa dimaksud dimaknai partai politik lokal maka Pemohon dapat ikut dalam pemilihan lokal baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan bahwa untuk lebih memahami latar belakang pengaturan partai politik dalam UU Otsus Papua, maka tidak dapat dilepaskan dari proses pembahasannya saat dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU Otsus Papua) yang dilakukan oleh DPR. Dalam RUU tersebut, salah satu aspek materi yang dibahas adalah representasi politik yang menyatakan penduduk Papua adalah sama seperti semua penduduk Indonesia yakni telah dewasa, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dapat membentuk partai politik.
Pada saat pembahasan RUU Otsus Papua tersebut terdapat istilah “partai politik lokal” sebagai bentuk pemaknaan dari frasa “partai politik” yang dikemukakan oleh salah seorang anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua. Namun sejatinya frasa “partai politik” yang dimaksud bukanlah partai politik dalam pengertian “partai politik lokal”.
Lebih lanjut Arief menguraikan bahwa berpedoman pada hasil pembahasan RUU tersebut, terdapat pergeseran substantif pola perumusan norma dari “Penduduk Provinsi Papua berhakmembentuk partai politik” menjadi “Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik”. Secara normatif, sambung Arief, terdapat perubahan kata “berhak” menjadi kata “dapat” sehingga hal ini mengakibatkan pola perumusan norma pun bergeser dari sesuatu yang dekat dengan sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif. Perubahan pola perumusan norma tersebut tetap mempertahankan konstruksi norma Pasal 28 ayat (2) UU a quo yang menyatakan “tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam batas penalaran yang wajar, jelas Arief, frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan” sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28 ayat (2) tersebuttidaklah menggambarkan dan menunjukkan karakter sebagai sebuah partai politik lokal.
“Dengan demikian, pengaturan partai politik di Papua bukanlah dimaksudkan sebagai partai politik lokal. Sebab, pengaturan partai politik dalam UU Otsus Papua tersebut tidak secara tegas dikatakan dan sekaligus dimaknai sebagai partai politik lokal. Jika pun pembentuk undang-undang bermaksud frasa “partai politik” dalam UU tersebut sebagai partai politik lokal, maka pengaturannya akan dilakukan secara terperinci dengan partai politik lokal. Selain itu, partai politik lokal tidak termasuk sebagai bentuk kekhususan yang diberikan UU a quo dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua,” ucap Arief pada sidang yang dihadiri dan diikuti para pihak secara virtual dari kediaman masing-masing.
Memberikan Pengaturan Khusus
Selanjutnya sehubungan dengan frasa “partai politik” dalam Pasal 28 UU a quo sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan jika yang dimaksudkan adalah partai politik lokal. Namun, apabila dalam posisi sebagai salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus sekalipun dan terdapat kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang partai politik pada masa mendatang, maka pembentuk undang-undang dapat saja memberikan pengaturan khusus pengelolaan partai politik di Papua. Sehingga sangat memungkinkan bagi penduduk Papua memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam mengelola partai politik nasional yang berada di Papua. Bahkan sebagai bagian dari demokratisasi partai politik, pengaturan khusus dimaksud juga dapat menjadi model percontohan desentralisasi pengelolaan partai politik nasional di daerah.
Maka Mahkamah berpendapat dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan lebih luas kepada warga negara penduduk Papua untuk terlibat mengelola partai politik akan memberikan ruang lebih luas dalam mengisi jabatan-jabatan politik. Tentunya hal ini merupakan wujud dari hasil kontestasi politik yang harus pula melibatkan partai politik. Namun demikian, Arief meneruskan bahwa jika pembentukan partai politik lokal akan dijadikan sebagai bagian dari kekhususan Papua, maka pembentuk undang-undang dapat merevisi UU a quo sepanjang penentuannya diberikan sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan nyata Papua serta tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat frasa “Partai Politik” pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001 adalah konstitusional secara bersyarat, sepanjang dimaknai sebagai “Partai Politik Lokal” sebagaimana dikehendaki oleh Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” sampai Arief.
Sebagaimana diketahui para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya bermula pada kasus konkret yaitu ditolaknya partai politiknya (parpol) untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua. Hal ini diperkuat pula dengan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM. Menurut para Pemohon, dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan UU Otsus Papua tersebut. Adapun parpol yang dimaksud adalah parpol lokal karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
Foto: Gani.