JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian aturan mengenai kewenangan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dimiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) tidak dapat diterima. Demikian Putusan Nomor 54/PUU-XVII/2019 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim pada Senin (26/10/2020).
“Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Andai pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum quod non, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar membacakan konklusi sekaligus amar putusan dari permohonan yang diajukan oleh Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I), Aulia Kasanova (Pemohon II), dan Kexia Goutama (Pemohon III).
Baca juga: Kewenangan PDTT yang Dimiliki BPK Dinilai Inkonstitusional
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945, Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum menyebutkan, berdasarkan pada lingkup pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yakni melakukan pemeriksaan keuangan negara, meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Hal ini terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara.
“Di samping itu, tugas ini dilakukan guna menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara,” ujar Arief.
Baca juga: PDTT Bagian Tugas BPK dan Tidak Bertentangan dengan UUD 1945
Lebih lanjut Arief menyatakan bahwa apabila dilihat dari profesi para Pemohon yaitu dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa, yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusionalnya dengan berlakunya norma a quo. Sementara itu, jelas Arief, berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, justru pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) ini memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak. Oleh sebab itu, hal ini semakin menguatkan tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo.
Instansi Pengelola Keuangan
Sehubungan dengan dalil para Pemohon tersebut, Arief menyebutkan bahwa menurut Mahkamah yang nyata-nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang seharusnya adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan mahasiswa tidak mengalami kerugian hak konstitusional. “Sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo,” ucap Arief terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat seandainya para Pemohon memiliki kedudukan hukum terhadap keberlakukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya ini, maka masih dibutuhkan keberadaaan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar.
Baca juga: Ahli : PDTT Diperlukan Jika Ada Indikasi Kerugian
Penyempurnaan Standar Pemeriksaan
Arief menambahkan sehubungan dengan pengertian PDTT adalah bentuk pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka Mahkamah berpendapat perlu adanya standar pemeriksaan yang harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga. Sehingga penetapan PDTT ini tidak diputuskan oleh orang per orang, baik oleh auditor maupun anggota BPK melainkan mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial.
Terlebih lagi, sambung Arief, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi yang telah diberikan status opini WTP. Dengan keputusan demikian, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP. Di samping itu, status opini tertinggi tersebut seharusnya tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. “Sehingga sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK, hal ini dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945,” jelas Arief.
Baca juga: Ahli Pemerintah: PDTT Milik BPK Tidak Hanya Meliputi Pemeriksaan Investigatif
Untuk diketahui, Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah ditetapkaannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa PDTT. Sehingga menurut para Pemohon, kewenangan tambahan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pemohon juga menyampaikan PDTT yang dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim