JAKARTA, HUMAS MKRI - Untuk menilai suatu cabang produksi itu penting bagi negara, termasuk salah satunya mengenai pengelolaan pertambangan berkelanjutan dan bertanggung jawab yang harus memberi nilai tambah bagi kemakmuran rakyat, sepenuhnya dilakukan Pemerintah dengan DPR. Dalam perkembangannya, terdapat tantangan bahwa Pemerintah dan DPR harus melakukan perubahan dalam upaya memperbaiki sektor tambang agar berkontribusi nyata bagi masyarakat. Hal ini tentu mengacu pada asas manfaat, berwawasan lingkungan, kepastian hukum, partisipasi, dan akuntabilitas. Atas dasar latar belakang inilah dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba).
Demikian diungkapkan oleh Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam Keterangan Pemerintah terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Rabu (21/10/2020). Persidangan keempat ini digelar MK untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Hal tersebut, kata Ridwan, sejalan dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
“Dalam arti luas, norma ini memberikan mandat pada negara untuk melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengelolaan sumber daya alam untuk tujuan kemakmuran rakyat,” ucap Ridwan kepada Majelis Sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dari Perjanjian Ke Perizinan
Sehubungan dengan argumentasi Pemohon perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang mendalilkan Pasal 169A UU Minerba mengatur pemberian perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada pihak selain BUMN dan BUMD, Pemerintah berpendapat adanya perpanjang jangka waktu dalam norma tersebut adalah demi kepastian hukum dan bukan pembedaan perlakuan. Diakui Ridwan bahwa investasi pertambangan butuh anggaran besar dan teknologi memadai sehingga kegiatannya pun dilakukan selama puluhan tahun. Jika menelaah jangka waktu pengelolaannya, maka hal tersebut masih berelasi wajar.
“Perlu diketahui Pemohon bahwa pengaturan pertambangan di Indonesia dimulai sejak adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Akibat semakin meningkatnya peran swasta atas usaha ini, maka dikeluarkan pulalah Keputusan Presiden(Keppres) Nomor 75 Tahun 1996. Di dalamnya dimuat ketentuan pokok perjanjian karya pengusahaan pertambanganbatubara yang sifatnya berjangka panjang dan padat modal,” jelas Ridwan.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Lebih jauh lagi, Ridwan menerangkan paradigma pengusahaan pertambangan yang dari awal dibuat dalam bentuk perjanjian menjadi perizinan dalam ketentuan UU Minerba baru ini sesungguhnya membutuhkan adaptasi. Jumlah investasi dengan biaya besar ini pada ketentuan pasal a quo tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhir perjanjian dari perusahaan pertambangan yang ada. Untuk mengatur masa transisinya, Pemerintah mempertegasnya melalui PPNomor77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalamnya dinyatakan akan diberikan hak pada pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah berakhir masa waktunya namun belum mendapat perpanjangan menjadi IUPK, maka tetap dapat melakukan perizinan usaha sebagai lanjutan tanpa melalui lelang. Sehingga adanya frasa “kecuali” pada UU a quo menegaskan keberpihakan pemerintah dalam peralihan KK ke IUPK dan menjamin kepastian hukum.
“Kepastian perpanjangan ini faktanya diberikan pada pemberi IUP dan ketentuan ini jelas tidak bersifat diskriminatif dan bukan hanya melindungi perusahaan besar. Bahwa pemberian perpanjang menjadi IUP adalah bentuk penguatan pengawasan pemerintah dalam pertambangan. Penerapan konsep hak menguasai negara ini diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,” sampai Ridwan.
Terhadap perpanjangan IUP ini, Ridwan menyebutkan hak perpanjangan kegiatan pertambangan tidak berlaku otomatis. Artinya perpanjangan akan diberikan jika perusahaan yang bersangkutan telah menjalani evaluasi dan memenuhi persyaratan ketat yang telah ditentukan oleh negara. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memaksimalkan penerimaan negara dan menjaga ekosistem negara dari kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Adanya peningkatan syarat dan nilai tambah bagi pemegang IUP/IUPK ini sejatinya adalah konsekuensi logis dari UU Minerba yang terbaru ini. “Jadi perpanjangan KK menjadi IUPK ini bukan proses berlanjutan. Jika perusahaan pertambangan tidak memenuhi persyaratan, maka Pemerintah punya dasar untuk tidak memberikan izin untuk perpajangan usaha,” ungkap Ridwan.
Kepemilikan Saham
Ridwan pun mengulas bahwa UU Minerba sejatinya tidak memangkas hak BUMN dalam pengelolaan pertambangan. Berpedoman pada Pasal75 UU Minerba bahwa hak prioritas bekas KK tetap melekat pada BUMN dengan catatan jika jangka perpanjangan habis dan tidak dapat dilakukan perpanjangan atau ditolak pemerintah dengan alasan tidak memenuhi syarat perpanjangan, maka prioritas yang diberikan pada BUMN tetap dapat dilakukan oleh perusaahaan melalui kepemilikan saham atau investasi.
Sementara itu terkait dengan ketentuan Pasal 169A UU Minerba, Ridwan menegaskan telah nyata adanya keterlibatan Pemerintah Daerah yang diselaraskan dalam penyusunan dan pelaksanaan UU a quo. Hal ini tampak pada aspek perizinan dan aspek peningkatan ekonomi. Bahwa dengan perpanjangan waktu dari perjanjian ke perizinan melalui IUPK, maka Pemerintah Daerah akan dapat alokasi dana sumber daya alam dengan besaran angka 6% dari keuntungan bersih sebuah usaha pertambangan. “Adanya peningkatan penerimaan negara terlihat dari kewajiban bagi pemegang KK yakni keharusan membayar 4% bagi Pemerintah Pusat dan 6% kepada Pemerintah Daerah,” kata Ridwan.
Baca Juga:
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU Minerba. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Adapun Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Sementara itu, permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.
Foto: Gani.