JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pada Senin (12/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 82/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Pina Aprilianti, perempuan asal Garut yang tengah menjalani masa tahanan.
Pina Aprilianti melalui Asri Vidya Dewi selaku salah satu kuasa hukum, mendalilkan Pasal 8 UU Pornografi yang berbunyi, “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi,” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Pada saat penyampaian permohonan, Asri menceritakan kasus konkret akibat berlakunya pasal a quo, Pemohon diputus bersalah dengan vonis kurungan penjara selama tiga tahun karena dianggap menyediakan diri atau turut serta sebagai ‘objek atau model’ dalam video pornografi. Diceritakan oleh Asri bahwa hal ini terjadi saat Pemohon hendak melaporkan pada pihak yang berwenang akan adanya video asusila yang telah disebarkan dan bahkan diperjualbelikan oleh suami siri Pemohon di jejaring sosial tanpa sepengetahuan dirinya. Pemohon sejatinya berusia 16 tahun ketika menikah dengan lelaki yang usianya terpaut 14 tahun dengan Pemohon, yang diindikasikan memiliki perilaku seksual menyimpang.
Berpedoman pada Pasal 4 UU Pornografi, jelas Asri, telah memberikan pembatasan ranah pribadi atau privasi serta penegasan akan larangan untuk kegiatan yang sifatnya memperbanyak dalam rangka penyebarluasan dan komersialitas serta bukan untuk hal-hal selain itu. Bahwa dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 48/PUU-VII/2010 telah menegaskan pula, Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi tentang ’tujuan pribadi’ adalah konstitusional. Maka, jelas Asri, kehadiran Pasal 8 UU Pornografi telah menciptakan dua subjek pelaku pada rangkaian kegiatan terkait pornografi, yakni objek atau model tanpa adanya penegasan konteks menyebarluaskan dan komersialitas.
“Maka dapat disimpulkan kehadiran Pasal 8 UU Pornografi justru menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ini jelas bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945,” jelas Asri yang menyampaikan permohonan secara virtual dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan dua hakim konstitusi lainnya, Enny Nurbaningsih dan Manahan M.P. Sitompul.
Selain itu, Asri juga menyebutkan pasal a quo telah membuka peluang bagi negara untuk masuk pada ranah pribadi. Hal ini berbeda dengan Penjelasan Pasal 4, yang justru membatasi negara untuk masuk ke ranah pribadi. Bahwa Penjelasan Pasal 8, sambung Asri, hanya menerangkan mengenai motif atau keadaan yang membuat seseorang kemudian bersedia menjadi ‘objek atau model’. Namun, jika kondisi-kondisi tersebut tidak terbukti maka pelaku dapat saja dipidana. Padahal menurut penilaian Asri, masih ada banyak faktor lain yang dapat memengaruhi seseorang bersedia menjadi ‘objek atau model’, termasuk alasan kepentingan pribadi yang menjadi hak privasi baginya.
Perbenturan Hak
Selanjutnya, Mohammad Fandi Dennisatria selaku kuasa hukum Pemohon lainnya juga menerangkan bahwa UU Pornografi merupakan bagian dari hukum publik. Artinya, negara dapat hadir di dalam sebuah norma guna mengatur dan membatasi kebebasan setiap individu dalam masyarakat demi terciptanya ketertiban umum.
Namun, adanya campur tangan negara dalam kehidupan privat ini, telah melahirkan perbenturan antara hak dan kebebasan individu. Sehingga, jelas Fandi, hal ini berpotensi disalahgunakan oleh penegak hukum dalam menjalankan tugasnya atau saat penerapan hukum tersebut.
“Dengan demikian, sebagai hukum publik, UU Pornografi yang mengatur setiap orang tidak diperbolehkan menjadikan dirinya ‘objek atau model’ dari pornografi untuk dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri, telah menyasar dan mengekang ekspresi warga negara termasuk aktivitas seksual yang tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi publik,” jelas Fandi.
Kerancuan Penerapan Norma
Pemohon pun menilai Pasal 8 UU Pornografi telah membuka ruang pada setiap orang yang bersedia menjadi ‘objek atau model’ pornografi ini, pada penerapan posisi abuse of power dan kerancuan. Sebagaimana yang dialami oleh Pemohon, yang semestinya merupakan korban tindak pidana perdagangan orang yang melapor dan membutuhkan perlindungan hukum atas perbuatan orang lain, justru dianggap melakukan perbuatan dengan sengaja atas kesadaran dan kesediaan dirinya sendiri. Kerancuan penerapan norma ini tentunya tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pula pada kasus dan korban lainnya. Sehingga, siapapun berpotensi menjadi pelanggar sekalipun untuk kepentingan pribadi atau atas alasan-alasan pemaksaan, ancaman, dan tipu daya.
“Dalam kenyataannya hal ini tidak bisa ditafsirkan dan dibuktikan secara harfiah begitu saja. Karena hukum merupakan ekstraksi dari fenomena permasalahan masyarakat, yang dapat diatur dan menjadi solusi dari suatu permasalahan yang terjadi,” terang Fandi.
Anggapan Kerugian
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan nasihat untuk penyempurnaan permohonan, di antaranya pada bagian kewenangan Mahkamah yang harus menyertakan UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, objek permohonan, serta kesimpulan. Selanjutnya Enny juga menyebutkan bahwa Pemohon perlu menegaskan kedudukan hukumnya dalam anggapan kerugian yang diakibatkan dari berlakunya pasal-pasal a quo.
Enny juga menyebutkan bahwa dalam permohonan, Pemohon mencantumkan syarat-syarat kerugian terlanggarnya hak konstitusional Pemohon. Enny menyarankan Pemohon juga memuat gambaran pertentangan pasal yang diujikan dengan pasal-pasal yang disasar dalam UUD 1945. “Mengingat pasal dalam UUD 1945 itu banyak, apakah semua pasal yang ada dalam UUD 1945 itu, yang kemudian bertentangan dengan norma yang diujikan pada permohonan ini,” tanya Enny meyakinkan kuasa Pemohon atas pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian.
Selain itu, Enny mempertanyakan sekaligus meminta kepada Pemohon untuk menunjukkan data yang dapat memperkuat anggapannya bahwa Pasal 8 UU Pornografi seolah-olah ditujukan kepada kaum perempuan saja. Padahal, jelas Enny, ‘setiap orang’ itu dapat bermakna laki-laki, perempuan, atau di antara keduanya. Sehingga generalisasi yang disampaikan Pemohon dalam permohonan ini, harus dapat benar-benar terkait penerapannya di lapangan dan telah benar menunjukkan adanya pertentangan antara norma quo dengan UUD 1945.
Aspek Penerapan
Berikutnya Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menekankan terkait kasus konkret yang diangkat Pemohon pada perkara a quo, hanyalah gerbang awal masuknya norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Namun, untuk selanjutnya hal ini tidak boleh dijadikan dasar pemeriksaan perkara karena MK tidak berwenang mengadili kasus yang masih diperdebatkan pada lembaga peradilan lain. Untuk itu, Manahan meminta Pemohon memperkuat bangunan argumentasi hukumnya tanpa adanya kasus konkret yang dialami tersebut, tetap dapat dinyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika hanya berdasar kasus konkret, maka akan sulit dilakukan pemeriksaan lanjutannya. Memang benar Pemohon menjadi korban, tetapi perlu penjabaran lebih lanjut, apakah ini kemudian aspek penerapan atau konstitusional? Jika ini ada aspek konstitusional maka bangunlah argumentasi hukumnya,” jelas Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya mengingatkan Pemohon untuk memperkuat legal standing terkait subjek hukum yang menyatakan pihaknya adalah perseorangan warga negara yang mengalami kerugian konstitusional akibat keberlakuan pasal a quo dan bersifat faktual. Hal ini pun, sambung Arief, harus dijelaskan keterkaitannya. Sehingga menjadi jelas uraian yang menyatakan benar Pemohon berhak mengajukan permohonan dan memiliki kedudukan hukum atas pekara yang dimohonkan ini.
Sebelum menutup persidangan, Arief mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 26 Oktober 2020 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
Foto: Gani.