JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap UUD 1945. Sidang pengucapan Putusan Nomor 58/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Selasa (29/09/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan uji materi UU Minerba diajukan oleh Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), Bahrul Ilmi Yakup, Dhabi K. Gumayra, Yuseva, Iwan Kurniawan, Mustika Tanto, dan Rosalina Pertiwi Gultom.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan rinci apa sesungguhnya kerugian konstitusional yang menurut anggapannya dialami dengan berlakunya ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (4) UU 3/2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai perkumpulan yang berbentuk badan hukum perdata (AAK), perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai dosen, advokat, serta perseorangan warga negara Indonesia yang sedang menekuni hukum pertambangan, tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian.
Sebab, lanjut Enny, Pemohon yang memiliki hubungan hukum secara langsung atas berlakunya norma tersebut di antaranya adalah pemerintahan daerah, in casu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah karena norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon tersebut merupakan bagian dari urusan daerah. Serta subyek hukum lainnya yang mempunyai keterkaitan langsung dengan perijinan pertambangan mineral dan batubara.
Dalam hal Pemohon adalah pemerintahan daerah maka yang dapat menjadi Pemohon adalah kepala daerah bersama-sama dengan DPRD. Terkait dengan unsur DPRD yang diwakili oleh ketua dan para wakil ketua harus berdasarkan hasil rapat paripurna DPRD yang dibuktikan dengan Berita Acara Rapat Paripurna DPRD. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Enny menegaskan, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon. Sehingga, MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Alhasil, dalam amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima. “Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Sebelumnya, Perkara Nomor 58/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), Bahrul Ilmi Yakup, Dhabi K. Gumayra, Yuseva, Iwan Kurniawan, Mustika Yanto, dan Rosalina Pertiwi Gultom. Para Pemohon memohon pengujian Pasal 35 ayat (1) dan ayat (4) UU Minerba yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Pasal 35 ayat (1) UU Minerba menyebutkan, “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Pasal 35 ayat (4) UU Minerba menyebutkan, “Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Para pemohon menganggap Pasal 35 ayat (1) UU Minerba telah menjadikan wewenang penerbitan Perizinan Berusaha Pertambangan adalah wewenang pemerintah pusat sepenuhnya. Hal ini menegasikan otonomi teritorial dan otonomi fungsional yang dimiliki oleh provinsi atau kabupaten/kota, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah mengatur wewenang apa saja yang menjadi urusan pemeritahan pusat.
Bahrul menilai Pasal 35 ayat (4) UU Minerba memiliki argumen inkonstitusionalitas secara mutatis mutandis yang sama dengan norma Pasal 35 ayat (1) UU Minerba. “Wewenang pemberian izin pertambangan tidak boleh menegasikan wewenang gubernur atau daerah provinsi dalam urusan tata ruang, lingkungan hidup, dan kehutanan. Apabila hal ini terjadi, pasti akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Bahrul dalam sidang pendahuluan yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Dalam petitum, para Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba inkonstitusional dan tidak mengikat umum sepanjang tidak dimaknai “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Provinsi Sesuai dengan wewenangnya.”
Sedangkan untuk Pasal 35 ayat (4) inkonstitusional dan tidak mengikat umum sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai Dengan kewenangannya yang diatur undang-undang.”
Penulis: Ega Utami.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.