JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b serta pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004). Demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman saat memimpin sidang pleno pengucapan Putusan Nomor 63/PUU-XVIII/2020 yang digelar pada Senin (28/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini diajukan oleh Perkumpulan Aliansi Masyarakat Sipil Blora, Sujad, Umar Ma’ruf, Jalal Umaruddin, Susanto Rahardjo, Febrian Candra Widya Atmaja, Exi Agus Wijaya. Para Pemohon mengujikan konstitusionalitas norma Pasal 19 ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf b, dan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terhadap terhadap UUD 1945.
Baca Juga:
Menggugat Aturan Dana Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Dua Pemohon Uji Aturan Dana Bagi Hasil Pusat-Daerah Undur Diri
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan substansi permohonan yang diajukan para Pemohon berkenaan dengan pembagian dana bagi hasil merupakan hak daerah. Sehingga, permasalahan ini pun merupakan bagian dari persoalan hak dan/atau urusan yang menjadi kewenangan daerah. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian norma yang dimohonkan ini adalah Pemerintah Daerah dan bukan orang perorangan, kelompok orang, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat.
“Dengan demikian, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo,” tegas Arief dalam sidang yang dihadiri para pihak melalui video conference dari kediaman masing-masing.
Sebagaimana diketahui, pada sidang terdahulu para Pemohon yang terdiri dari perkumpulan dan perseorangan warga negara dengan berbagai profesi ini beranggapan frasa “Kabupaten/Kota penghasil” dalam pasal yang diuji memiliki kelemahan yang berdampak pada adanya kabupaten/kota dalam satu wilayah kerja (WK) yang tidak mendapatkan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH). Merujuk pada Pasal 1 angka 14 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan, “Wilayah kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi”. Dengan kata lain sebelum mendapatkan hasil dari kegiatan eksploitasi, terlebih dahulu dilakukan kegiatan ekploitasi mencakup wilayah yang luas dari kabupaten/kota penghasil.
Terhadap hal ini, Mahkamah menilai bahwa urusan-urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah, baik berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan maka tidak akan dapat dilaksanakan tanpa diikuti dengan pembagian keuangan pusat dan daerah. Dikarenakan substansi permohonan berkenaan dengan hak daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, maka yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini adalah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan konstitusionalitas yang terkait dengan hak pemerintah daerah telah diputuskan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 bertanggal 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 bertanggal 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015 bertanggal 11 Januari 2017, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/PUUXVI/2018 bertanggal 24 Januari 2019.
“Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah berkesimpulan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Sehingga, permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan konklusi terhadap pengujian UU 33/2004 ini.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.