JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejak adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, paralegal tetap bisa beracara di pengadilan untuk memberikan bantuan hukum terhadap warga yang tidak mampu dan miskin. Jadi, dosen ataupun mahasiswa fakultas hukum yang tergabung dalam sebuah lembaga bantuan hukum (LBH) yang telah terakreditasi, tentu dapat memberikan bantuannya pada masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut diutarakan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat menjadi narasumber dalam Pelatihan Paralegal Studies for Churches XII yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bethel Indonesia secara virtual pada Jumat (25/9/2020).
Dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Raja Basar A.N Harefa dari LBH Bethel Indonesia ini, Daniel menyebutkan sehubungan dengan keberadaan bantuan hukum ini pernah diajukan pengujiannya ke MK dalam dua permohonan perkara, yakni perkara yang teregistrasi Nomor 59/PUU-X/2012 dan Nomor 88/PUU-X/2012. Meski dilakukan penarikan kembali permohonan pada permohonan Nomor 59/PUU-X/2012 dan dinyatakan ditolak pada permohonan Nomor 59/PUU-X/2012, namun dalam pokok-pokok pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-X/2012 tersebut menyatakan perluasan terhadap para pihak yang dapat memberikan bantuan hukum.
“Bantuan hukum diberikan pada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum, mulai dari hukum keperdataan dan pidana. Penerima bantuan hukum adalah setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Jadi, jika Bapak/Ibu menemui ada pihak yang memiliki permasalahan hukum keperdataan atau pidana, maka ini dapat dilakukan oleh paralegal dalam pembelaannya,” jelas Daniel dalam presentasi yang mengangkat topik pembahasan mengenai “Tugas, Fungsi, dan Kewenangan MK.”
Terkait dengan perjuangan hak konstitusional warga negara dalam persamaan pada bidang hukum ini, Daniel secara runut menerangkan kepada peserta pelatihan yang berasal dari berbagai daerah seperti Kalimantan Timur dan Maluku ini mengenai hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia. Dinyatakan oleh Daniel bahwa MK sesungguhnya adalah salah satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Karena, sambung Daniel, kekuasaan kehakiman itu berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia dan hak warga negara.
Kewenangan MK
Lebih lanjut, Daniel mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman berhubungan dengan pilar kehakiman sebagaimana yang termuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Apabila diputar kembali pada sejarah keberadaan MK maka wacana pembentukannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun barulah dalam perkembangannya pada 1970-an diberikan sebuah opsi agar MA diberikan wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang dengan kewenangan yang terbatas. Singkat cerita, pembahasan konkret tentang pentingnya keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang menganut prinsip paham konstitusionalisme beberapa waktu kemudian barulah benar-benar terwujud. Utamanya saat dilakukan amendemen UUD 1945 pada masa bergulirnya reformasi di Indonesia.
“Dengan demikian dari perubahan (amendemen) ini pulalah lahir tugas dan kewenangan MK yang ditegaskan dalam Pasal 24C ayat 1) dan ayat (2) UUD 1945. Inilah tugas konstitusional yang secara limitatif menyatakan kewenangan MK,“ jelas Daniel. K
emudian, lanjut Daniel, dalam perkembangannya MK pun mengalami perkembangan kewenangan, yakni menguji Perppu yang mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, dan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada) hingga dibentuknya badan peradilan khusus, yang mengacu pula pada Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013. Apabila ditarik benang merah dari tugas dan kewenangan MK tersebut, maka terdapat 6 fungsi MK, yaitu menjaga konstitusi; melakukan interpretasi konstitusi; pengawal demokrasi yang berkaitan dengan proses sengketa pemilu; pelindung hak konstitusi warga negara; pelindung hak asasi manusia; dan pengawal ideologi bangsa yan berkaitan dengan Pancasila.
“Maka MK dalam perkembangan kewenangannya ini, khususnya pula dalam memutus perkara senantiasa berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sesuai pula dengan alat bukti dan keyakinan dari para hakim yang menangani berbagai permohonan,” jelas Daniel saat menerangkan lebih dalam mengenai mekanisme hukum acara di MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari