JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU 4/1984) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/9/2020) siang dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Agenda sidang nomor perkara 36/PUU-XVIII/2020 adalah mendengarkan keterangan DPR dan para Saksi Pemerintah.
Anggota Komisi III DPR Habiburokhman memberikan tanggapan terhadap dalil para Pemohon mengenai ketiadaan kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 yang menunjukkan tidak adanya kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhi penghasilan bagi tenaga medis, tenaga kesehatan dan pegawai fasilitas kesehatan yang melawan pandemi. DPR berpandangan bahwa pembentuk undang-undang berwenang untuk menetapkan ketentuan dalam hal sebagaimana penghargaan atau risiko yang ditanggung para petugas tertentu dalam melaksanakan tugasnya. “Para Pemohon yang berprofesi sebagai dokter, tetap mendapat hak dasarnya seperti pemberian gaji, APD, insentif, dan sumber daya pemeriksaan yang memadai,” ujar Habiburokhman secara virtual kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Habiburokhman melanjutkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. HK. 01. 07/MENKES392/2020 Tahun 2020 merupakan ketentuan terbaru mengenai pemberian insentif dan santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. “Pengusulan insentif yang saat ini dalam proses verifikasi oleh Kemenkes tetap dilakukan sesuai ketentuan KMK No. HK. 01. 07/MENKES392/2020 Tahun 2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19,” jelas Habiburokhman.
Dengan demikian menurut DPR, tanpa adanya penambahan frasa “wajib” dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984, pemenuhan hak-hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan selama penanganan Covid-19 telah diatur dan dapat dibuktikan dengan keluarnya berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Jikapun terjadi permasalahan dan implementasi KMK tersebut, misalnya keterlambatan pencairan insentif, hal itu bukan masalah inkonstitusionalitas norma undang-undang yang diuji para Pemohon.
Sementara itu, menanggapi kedudukan hukum para Pemohon yang merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal dalam undang-undang yang diuji para Pemohon, DPR berpandangan bahwa berlakunya pasal-pasal a quo tidak menyebabkan kerugian konstitusional para Pemohon sebagai badan hukum. “Para Pemohon tidak menguraikan secara jelas hak dan atau kewenangan konstitusional tersebut yang telah dilanggar dan memang disebabkan oleh keberlakuan pasal-pasal a quo,” kata Habiburokhman.
Selanjutnya, terkait hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang diuji, menurut DPR, dapat dipastikan bahwa para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya. Para Pemohon juga tidak dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat langsung antara kerugian konstitusional para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Selain itu, para Pemohon juga tidak dapat menguraikan pertentangan pasal-pasal a quo dengan ketentuan yang dijadikan batu uji.
“Berdasarkan uraian di atas, terhadap kedudukan hukum para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK,” ucap Habiburokhman.
Penuturan Saksi Pemerintah
Sementara itu Muhammad Syahril selaku Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta, hadir sebagai Saksi Pemerintah. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso mempunyai tugas pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan kekhususan pelayanan kesehatan di bidang penyakit infeksi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan, RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso bertugas melakukan penatalaksanaan dugaan kasus yang berpotensi kejadian luar biasa penyakit emerging tertentu. Selain itu memberikan pelayanan rujukan pasien dan rujukan spesimen yang berkualitas sesuai standar.
Dengan demikian, kata Syahril, RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso telah ditetapkan Kementerian Kesehatan sebagai salah satu rumah sakit rujukan yang menangani penyakit emerging tertentu, termasuk Covid-19. Ada 413 SDM di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso yang langsung menangani Covid-19, terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, tenaga keperawatan dan tenaga penunjang medis, termasuk juga penambahan para relawan dari berbagai profesi, yang semuanya mendapatkan insentif sesuai Peraturan Kemenkes. Hal lain, ada santunan kematian bagi seorang perawat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso yang sudah dibayarkan. Berikutnya mengenai pengelolaan Alat Pelindung Diri (APD). Di RSPI Prof. Dr. Sulianto Saroso ada perencanaan APD yang dilakukan oleh Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Pengelolaaan APD di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tidak ada hambatan berarti dan berjalan dengan baik.
Tegaskan Adanya Insentif
Selain itu ada Saksi Pemerintah, Trisa Wahyuni Putri sebagai Sekretaris Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes yang menjelaskan regulasi insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang kesehatan.
“Salah satunya adalah penyusunan kebijakan dan pelaksanaan terkait pemberian insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis/tenaga kesehatan yang terlibat penanganan Covid-19. Insentif tenaga kesehatan adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap tenaga kesehatan yang bertugas dalam penanganan Covid-19. Sasaran pemberian insentif adalah tenaga kesehatan, baik ASN, non-ASN maupun relawan yang menangani Covid-19 dan ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi kesehatan. Pemberian insentif diharapkan dapat meningkatkan etos kerja dan motivasi tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan terbaik guna mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Selain insentif, santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang meninggal akibat terpapar Covid-19 juga diberikan pada yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan. Besar santunan kematian adalah 300 juta rupiah,” tegas Trisa.
Sebelumnya, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) selaku para Pemohon Perkara 36/PUU-XVIII/2020 ini menguji UU Wabah Penyakit Menular pada Pasal 9 ayat (1). MHKI bermaksud menghimpun, membina, memajukan hukum kesehatan di Indonesia melalui kajian, penelitian, pelatihan, mediasi, advokasi, dan diskusi dalam bidang hukum kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Pengujian perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi Covid-19, dalam hal regulasi sumber daya alat, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. MHKI yang memiliki tujuan sebagaimana dalam AD/ART MHKI, serta keanggotaan MHKI yang mayoritasnya tenaga kesehatan berjuang melawan Covid-19. Menjadi suatu kenyataan bahwa MHKI memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.
Para Pemohon menegaskan, ada kewajiban pemerintah untuk menyediakan APD bagi tenaga kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak. Tingginya angka penularan Covid-19 yang terjadi saat ini, mengharuskan pemenuhan fasilitas kesehatan bagi tenaga kesehatan, terutama APD yang merupakan hal yang pokok harus didapatkan tenaga kesehatan dalam menangani pasien selama masa pandemi Covid-19. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Tiara Agustina