JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/8/2020) siang dengan menghadirkan dua Ahli Pemohon dan dua Saksi Pemohon yang semuanya memberikan keterangan secara virtual.
Dosen Fakultas Hukum Indonesia Qurrata Ayuni menerangkan bahwa penghargaan yang diberikan pemerintah terhadap para pejuang yang menangani Covid-19 ternyata tidak dirasakan para Pemohon. Qurrata juga mempertanyakan minimnya Alat Pelindung Diri (APD) bagi tim medis yang menangani Covid-19, sehingga para Pemohon mendalilkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan salah satunya harus diartikan dengan penyediaan APD. Padahal pemerintah sudah mengalokasikan anggaran pada 2020 sebesar 87,55 triliun untuk penyediaan APD, sanitizer dan lainnya bagi 34 provinsi.
“Dengan demikian, mencermati permasalahan tersebut, saya melihat bahwa sebenarnya ada ketimpangan antara apa yang sudah disampaikan pemerintah dengan kenyataan seperti disampaikan para Pemohon kepada MK dalam situasi kedaruratan masyarakat maupun darurat bencana nasional,” jelas Qurrata sebagai Ahli Pemohon.
Qurrata melanjutkan, hak kesehatan merupakan bagian dari hak yang fundamental seperti disebutkan badan kesehatan dunia (WHO). Baik Pemerintah maupun Pemohon sudah memahami bahwa kesehatan menjadi persoalan yang penting. “Yang menjadi permasalahan, mengapa ada gap antara pemenuhan hak kesehatan yang sudah dikeluarkan pemerintah, namun tidak sampai kepada para Pemohon yang kemudian menimbulkan delay to access human rights. Oleh karena itu apabila bantuan-bantuan tersebut tertunda kepada mereka, maka mereka juga akan mendapatkan ketidakadilan terhadap hal tersebut,” ucap Qurrata.
Hak Asasi Manusia, kata Qurrata, termasuk hak kesehatan juga menitikberatkan pada konsep persamaan dan menuntut peran negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap orang. Negara dituntut lebih aktif, terutama pemerintah sebagai pemegang lembaga eksekutif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Salah satu wujud kesejahteraan masyarakat adalah hak kesehatan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Lebih lanjut Qurrata menjelaskan peran MK dalam kondisi darurat. “Mengapa MK perlu mengabulkan permohonan para Pemohon ini? Dalam menghadapi Covid-19 Indonesia telah menerapkan tiga produk hukum yakni UU Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2020, Keputusan Presiden tentang Penetapan Bencana Nonalam. Namun, ungkap Qurrata, kondisi darurat tersebut belum dicabut hingga hari ini. Mahkamah Konstitusi di berbagai negara menjadi judicial control bagi keadaan darurat, keadaan yang membutuhkan situasi cepat, responsif, tidak boleh lama-lama,” tegas Qurrata.
Tak Hanya Tenaga Kesehatan
Sementara pakar epidemiologi, Tri Yunis Miko Wahyono menyampaikan bahwa pelayanan saat kondisi wabah bukan hanya pelayanan kesehatan, tapi juga secara epidemiologi, ada petugas yang melakukan contact tracing yang itupun berisiko kalau tidak menggunakan APD. Pelayanan laboratorium pun harus menggunakan APD. Rumah sakit harus menyediakan APD bagi tim medis. Kalau tidak ada APD, berisiko pada dokter maupun tim medis lainnya saat menjalankan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan cuci tangan, sanitizer serta penggunaan masker sebagai langkah pencegahan dan pengendalian menghadapi wabah Covid-19. “Penggunaan APD tidak ada tawar-menawar dalam kondisi wabah. Kalau tidak ada APD tidak ada pelayanan kesehatan. Rumah sakit a klinik harus ditutup. Jangan dipaksakan memberikan pelayanan kesehatan kalau tidak ada APD,” ujar Tri.
Sehubungan kian meningkatnya jumlah positif Covid-19 di Indonesia, Tri menekankan pentingnya petugas medis melakukan contact tracing dengan menelusuri siapa saja yang melakukan kontak dengan seseorang yang positif Covid-19, didampingi tenaga epidemiologis, perawat dan ahli lingkungan. Namun, petugas medis harus tetap menggunakan APD, masker, dan lainnya.
“Sayangnya, wabah Covid-19 sudah meningkat dan jumlah positif sudah tinggi di Indonesia. Harusnya tracing dilakukan saat wabah masih kecil jumlah positif Covid-19. Seperti dilakukan Vietnam saat kasus positif Covid-19 masih berjumlah ratusan. Tapi kalau sekarang yang jumlahnya besar, akan membutuhkan biaya dan upaya yang besar. Termasuk biaya pelayanan kesehatan,” ungkap Tri.
Tenakes Rentan Terpapar
Berikutnya, Radofit selaku Saksi Pemohon menuturkan pengalamannya saat diisolasi mandiri atau karantina di rumah sendiri akibat terkena Covid-19 saat bekerja di sebuah rumah sakit. “Selama diisolasi, saya hanya di rumah bersama keluarga saya. Tidak pergi kemana-mana. Paling jauh hanya di teras rumah,” ucap Radofit.
Radofit juga mengungkapkan, selama mengalami sakit akibat Covid-19, dia hanya mendapatkan gaji pokok dan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh teman-teman kerjanya di rumah sakit, tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Kini Radofit telah sembuh dari Covid-19.
Saksi Pemohon lainnya adalah Guru Besar Bedah Syaraf Undip, Zainal Muttaqin yang juga terkena Covid-19. “Selama sakit, saya tetap mendapat gaji bulanan saya dari Kemendikbud sebagai seorang Guru Besar. Tapi yang saya tidak dapatkan selama 3 bulan berturut-turut adalah remun yang biasanya rutin karena jasa pelayanan tindakan-tindakan operasi yang saya lakukan di RSUP Dokter Kariadi Semarang,” tutur Zainal yang kini sudah sembuh dari Covid-19.
Terkait insentif tugasnya, sambung Zainal, yang mendapatkan insentif adalah tim medis yang langsung berhubungan dengan Covid-19. “Karena bidang saya tidak terkait dengan pelayanan Covid, saya tidak mendapat insentif. Padahal kalau ditilik risiko pekerjaan, saya hadir di rumah sakit dan memberikan pelayanan rawat jalan saja, di antara 10-15 pasien yang saya tangani di rumah sakit pasti ada kemungkinan sebagai orang tanpa gejala. APD yang saya gunakan pun disediakan sendiri, bukan dari rumah sakit. Rumah sakit menyediakan APD bagi tim medis yang khusus yang menangani Covid,” tandas Zainal.
Sebelumnya, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) selaku Pemohon Perkara Nomor 36/PUU-XVIII/2020 ini menguji UU Wabah Penyakit Menular pada Pasal 9 ayat (1),“Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”. Pemohon juga melakukan pengujianmateriil UU Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 6, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”.
Pemohon menyampaikan, MHKI bermaksud menghimpun, membina, memajukan hukum kesehatan di Indonesia melalui kajian, penelitian, pelatihan, mediasi, advokasi, dan diskusi dalam bidang hukum kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Pengujian perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi Covid-19, dalam hal regulasi sumber daya alat, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. MHKI yang memiliki tujuan sebagaimana dalam AD/ART MHKI, serta keanggotaan MHKI yang mayoritasnya tenaga kesehatan berjuang melawan Covid-19. Menjadi suatu kenyataan bahwa MHKI memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.
Pemohon menegaskan, ada kewajiban pemerintah untuk menyediakan APD bagi tenaga kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak. Tingginya angka penularan Covid-19 yang terjadi saat ini, mengharuskan pemenuhan fasilitas kesehatan bagi tenaga kesehatan, terutama APD yang merupakan hal yang pokok harus didapatkan tenaga kesehatan dalam menangani pasien selama masa pandemi Covid-19. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Tiara Agustina