JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) pada Rabu (19/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang adalah mendengar keterangan Pemerintah. Permohonan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912.
Pemerintah yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadianto menyampaikan bahwa kepastian hukum bagi badan hukum usaha bersama yang telah ada untuk melakukan usaha perasuransian telah terjamin dalam UU Perasuransian. Kemudian apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, maka Para Pemohon a quo tidak memenuhi syarat-syarat tersebut karena pada kenyataannya Putusan Nomor 32 dimaksud telah dilaksanakan oleh pembuat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014.
Selain itu, Hadianto menjelaskan perbedaan pilihan kebijakan atau biasa dikenal open legal policy yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang dalam menyusun norma Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dengan Pasal 6 Undang-Undang 40 tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum usaha bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian. Menurut Pemerintah, norma yang dikandung dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 membuka pintu bagi lahirnya usaha bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian sebagaimana tercermin dalam rumusan yang tidak memberikan batasan apa pun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggaraan usaha perasuransian sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun, sejak 1992 sampai dengan 2014, saat uji materi diajukan dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ternyata tidak ada perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang lahir selain AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912. “Kondisi ini kemudian menjadi pertimbangan, apakah usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian akan terus dibuka untuk tumbuh atau lebih diarahkan pada perusahaan perseroan atau koperasi,” ujarnya Hadianto dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka dalam perumusan Undang-Undang 40 Tahun 2014, pembentuk undang-undang menetapkan open legal policy yang mana badan usaha yang diizinkan melakukan usaha perasuransian adalah badan usaha perseroan terbatas, dan koperasi, dan usaha bersama terbatas hanya untuk usaha bersama yang telah ada.
Kebijakan ini tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang memberikan batasan usaha bersama yang telah ada sebagai badan usaha berbentuk usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian. Dengan fakta perbedaan open legal policy yang dianut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, maka norma umum atau pokok pengaturan usaha bersama sebagai penyelenggara asuransi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014, yaitu meliputi penegasan mengenai status usaha bersama, perizinan usaha bersama, penyelenggaraan usaha perasuransian, pengaturan kewajiban organ perusahaan, pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama, larangan bagi organ perusahaan, kewenangan organ perusahaan, kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan, pemeriksaan perusahaan asuransi berkala ataupun sewaktu-waktu, kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dewan komisaris, ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dan ketentuan peralihan bagi usaha bersama.
Dengan pengaturan ini, maka pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32, tanggal 3 April 2014, sejatinya telah ditindaklanjuti dengan konkret dari pembuat undang-undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk usaha bersama dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tersebut.
Baca Juga…
BPA AJB Bumiputera Uji Pengaturan Perusahaan
BPA AJB Bumiputera Pertegas Kedudukan Hukum
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB tersebut terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda.
Menurut Pemohon, keberadaan pasal a quo telah menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013. Dalam putusan MK tertanggal 03 April 2014 tersebut memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, terutama Pasal a quo.
Selain itu, Pemohon menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mewajibkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membentuk UU tersendiri tentang Asuransi Usaha Bersama. Menurutnya, keberadaan PP ini juga bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari
Fotografer: Gani