JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU PMB), Kamis (23/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan untuk tiga perkara pengujian UU PMB, yakni perkara Nomor 58/PUU-XVIII/2020, Nomor 59/PUU-XVIII/2020 dan perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020.
Permohonan perkara Nomor 58/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), Bahrul Ilmi Yakup, Dhabi K. Gumayra, Yuseva, Iwan Kurniawan, Mustika Yanto, dan Rosalina Pertiwi Gultom. Para Pemohon menguji materiil Pasal 35 ayat (1) dan ayat (4) UU PMB yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) Ayat (2) dan Ayat (5), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 35 ayat (1) UU PMB menyatakan, “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Kemudian Pasal 35 ayat (4) UU PMB menyatakan, “Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Para Pemohon mendalilkan Pasal 35 ayat (1) UU PMB telah menjadikan wewenang penerbitan Perizinan Berusaha Pertambangan adalah wewenang pemerintah Pusat sepenuhnya. Hal tersebut menegasikan otonomi teritorial dan otonomi fungsional yang dimiliki oleh provinsi atau kabupaten/kota sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) Ayat (2) dan Ayat (5), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah mengatur wewenang apa saja yang menjadi urusan Pemeritahan Pusat, urusan Pertambangan in casu pemberian izin.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Bahrul mengatakan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU PMB memiliki argumen inkonstitusionalitas secara mutatis mutandis yang sama dengan norma Pasal 35 ayat (1) UU PMB.
“Wewenang pemberian izin pertambangan tidak boleh menegasikan wewenang Gubernur atau Daerah Provinsi dalam urusan tata ruang, lingkungan hidup, dan kehutanan. Apabila hal ini terjadi, maka pasti akan menimbulkan ketidakpastian hukum, “ujar Bahrul.
Dalam petitum, para Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 35 Ayat (1) UUPMB inkonstitusional dan tidak mengikat umum sepanjang tidak dimaknai “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Provinsi Sesuai dengan wewenangnya.” Sedangkan untuk pasal 35 ayat (4) inkonstitusional dan tidak mengikat umum sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah Pusat mendelegasikankewenanganpemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah Provinsi sesuai Dengan kewenangannya yang diatur undang-undang.”
Berikutnya Panel Hakim Konstitusi memeriksa permohonan Nomor 59/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Kurniawan, Peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Kurniawan melakukan pengujian formil UU PMB.
Kurniawan melalui kuasa hukumnya, Abdul Rohim, menegaskan substansi materi UU PMB berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah amanat Konstitusi yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut hadirnya kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada DPD RI melalui Pemilu untuk mewakili kepentingan daerah atas pembentukan UU PMB.
“Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena hak konstitusionalnya tidak terwujud dengan tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut,” jelas Rohim.
Dalam petitum, Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan UU PMB bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan perkara ketiga yaitu perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh H. Alirman Sori, Tamsil Linrung, H. Erzaldi Rosman Djohan, Perkumpulan Syarikat Islam, Marwan Batubara, Budi Santoso,Ilham Rifki Nurfajar, dan M. Andrean Saefudin. Para Pemohon menguji formil UU PMB karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya terkait pembahasan UU PMB yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD. Padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan UU PMB tidak memenuhi syarat formil, sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum dan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan kepada para pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami baik bersifat aktual maupun potensial. Selain itu, Arief menasihati para Pemohon agar memperbaiki format permohonan. Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menasihati Pemohon Nomor 58PUU-XVIII/2020 agar meringkas permohonan menjadi lebih padat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS
Fotografer: Ifa DS.