JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan (UU Karantina Kesehatan) pada Selasa, (30/6/2020). Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 34/PUU-XVIII/2020 ini, MK tetap menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) sebagai bagian dari upaya percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pemberlakukan ketentuan ini berpedoman pada ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Pada kesempatan sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini, Singgih Tomi Gumilang (Pemohon II) menyampaikan poin penyempurnaan permohonan, di antaranya memperkuat kedudukan hukum (legal standing). Pada persidangan terdahulu disebutkan, para Pemohon yang terdiri atas Runik Erwanto (Pemohon I) dan Singgih Tomi Gumilang (Pemohon II) adalah sebagai advokat. Namun pada sidang perbaikan ini pihaknya menyatakan bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah sebagai warga negara Indonesia yang peduli terhadap masalah penanggulangan penyebaran Covid-19.
Berikutnya, para Pemohon juga menambahkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Menurut para Pemohon, aturan mengenai PSBB dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut diperluas yakni mengenai peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya, khususnya terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Baca Juga: Sejumlah Advokat Ujikan UU Karantina Kesehatan
Sebagaimana diketahui, pada sidang sebelumnya para Pemohon ini mendalilkan Pasal 55 ayat (1) UU Karantina Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945. para Pemohon merasa dirugikan karena pemberlakuan PSBB tidak ada kaitannya dengan pelarangan orang keluar masuk kota Jakarta yang sedang diberlakukan PSBB sebab berlakunya PSBB tidak melarang kantor pemerintah tutup. Pelarangan transportasi udara dengan dalil PSBB dan masa mudik Idul Fitri sangat merugikan para Pemohon. Seharusnya pemerintah memberlakukan karantina wilayah, dengan begitu semua aktivitas akan terhenti termasuk jadwal persidangan akan ditunda. Tetapi pemerintah khawatir jika diberlakukan karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menanggung semua kebutuhan dasar semua orang di Jakarta.
Selanjutnya para Pemohon juga melihat, apabila dikaitkan aturan pelarangan orang keluar masuk daerah pada masa PSBB, tentu tidak tepat jika aturan tersebut dijadikan landasan hukumnya karena hal demikian hanya ada pada aturan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 s.d. Pasal 55 UU Karantina Kesehatan. Dalam pasal a quo terutama kalimat “kebutuhan hidup dasar orang” yang menjadi persoalan bagi pemerintah jika karantina wilayah diberlakukan adalah pemerintah khawatir jika harus membiayai makan penduduk yang diberlakukan karantina wilayah. Makna “orang” yang dimaksud adalah seseorang anak, dewasa, tua, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin. Menurut para Pemohon pasal a quo harus dimaknai secara konstitusional bersyarat yaitu hanya orang miskin yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Dengan begitu beban anggaran bagi pemerintah pusat jika memberlakukan karantina wilayah tidak terlalu besar. (Sri Pujianti/LTS/NRA).