JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Departemen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan web seminar (webinar) bertajuk “Dua Dekade Perkembangan dan Dinamika Kekuasaan Kehakiman“ pada Selasa (30/6/2020). Dalam seminar dan diskusi yang digelar melalui aplikasi Zoom Meeting ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo hadir sebagai penceramah kunci dengan beberapa pemateri lainnya, seperti Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII Idul Rishan dan Sri Hastuti Puspitasari serta Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso.
Mengawali paparannya, Suhartoyo mengatakan bahwa pascaperubahan UUD 1945 tatanan perkembangan negara diatur untuk menciptakan praktik negara yang sejalan dan seimbang serta memberikan jaminan bagi terwujudnya nilai demokrasi dan negara hukum. Dalam UUD 1945 Indonesia telah secara tegas dipilah pembagian kewenangan pemegang kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan bidang ini memiliki posisi kunci dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam memutus sengketa antara individu dengan individu, individu dengan negara, dan institusi dengan negara.
Lebih jelas Suhartoyo mengutarakan bahwa di negara demokrasi, termasuk Indonesia telah terjadi suatu gelombang dinamika kekuasaan kehakiman secara kelembagaan setelah reformasi. Hal ini tampak pada kehadiran lembaga selain Mahkamah Agung (MA), yakni Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (KY). Seperti termaktub dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan kekuasaan kehakiman tak hanya dilaksanakan oleh MA, tetapi ada MK dan lembaga lainnya seperti KY sebagai lembaga yang menandai paradigma independensi kekuasan kehakiman.
Dalam rentang dua dekade ini, sambung Suhartoyo, penegasan kekuasaan kehakiman sebelumnya termuat dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Kemudian pascaperubahan UUD 1945, terdapat pada Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman secara jelas telah dipastikan dalam norma tersebut. Berbicara tentang keberadaan hakim dalam pengadilan pada lembaga-lembaga tersebut, Suhartoyo mencermati perlu terpenuhinya keberadaan hakim sebagai penegak hukum yang bebas dari pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara serta tekanan masyarakat nasional dan internasional.
“Bahwa dengan adanya tatanan perubahan UUD 1945 yang telah diimbangi pula dengan check and balances diharapkan independensi kekuasaan kehakiman dapat tercipta.” sampai Suhartoyo.
Menurut Suhartoyo, independensi kekuasaan kehakiman terutama bagi hakim, baik hakim agung dan hakim konstitusi harus memiliki akuntabilitas dan pertanggungjawaban di dalam peradilan. Hal ini dimaksudkan agar dengan adanya independensi maka tindakan koruptif dalam kekuasan kehakiman dapat diminimalkan. Hal ini telah dibuktikan oleh MK melalui independensi dan imparsialitas dalam keputusannya. Meski hakim-hakim tersebut adalah perwakilan dari tiga lini pemangku kekuasaan di Indonesia, namun telah menyudahi keterikatannya dengan lembaga pengusungnya. Jadi, jelas Suhartoyo, hakim konstitusi dalam membuat putusan bukanlah merepresentasikan lembaga yang mengajukannya, tetapi berpedoman pada keadilan berlandas konstitusi. Selain itu, hal penting lainnya untuk menciptakan independensi kekuasaan kehakiman adalah melalui transparansi guna mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan pengadilan termasuk di MK. Untuk itu, MK sepenuh hati melaksanakan tugasnya dengan mengupayakan bagaimana memberikan layanan informasi yang terjangkau, mudah dipahami, dan diterima publik secara utuh dan baik.
“Diharapkan melalui kepercayaan publik, MK dapat pula melahirkan peradilan modern yang cepat dan terukur serta berbasis IT. Agar, persentuhan pengadilan berorientasi pemenuhan kebutuhan publik akan hukum dapat tercipta karena kuatnya kerja pengadilan di mata masyarakat,” papar Suhartoyo.
Mandat Konstitusional
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso dalam paparan berjudul “Relasi Mahkamah Konstitusi dan Pembentuk Undang-Undang” menyatakan terdapat dua bentuk hubungan di antara kedua lembaga ini, yakni konfrontatif dan kooperatif. Dua model ini telah dilakukan sebagai suatu studi komparatif terhadap lima negara seperti Estonia, Hungaris, Polandia, Ukraina, dan Rumania.
Pada negara Estonia, Hungaria, polandia ditemukan model hubungan yang cenderung bersifat kooperatif. Dua institusi yakni MK dan Pembentuk Undang-Undnag secara bersama-sama mengambil peran melindungi hak dasar rakyat dan mencapai tujuan negara. “Sesunguhnya ini adalah model ideal, tetapi di sisi lain ada fakta bahwa di Ukraina dan Rumania, dua institusi ini justru saling bertentangan, bahkan menggunakan kedok legalitas dan saling menyerang hingga di luar jalur konstitusi dan saling melemahkan kewenangan,” sampai Fajar dalam webinar yang dimoderatori Allan FG Wardhana selaku dosen HTN UII.
Dari model-model ini, Fajar mengadaptasinya ke dalam ketatanegaraan Indonesia terutama terkait bagaimana kekuasaan kehakiman khususnya MK dalam hubungannya dengan DPR dan Presiden yang berakar pada penegakan konstitusi. Fajar melihat ada dua cara yang ditegakkan dalam keterhubungan lembaga-lembaga ini. Pertama, DPR dan Presiden melalui legislasi konstitusi. Artinya dalam kewenangan lembaga ini melekat adanya kewenangan menafsirkan konstitusi yang dituangkan dalam produk bernama undang-undang. Kedua, adalah MK yang menjadi penafsiran konstitusi bersifat pasif dalam putusan-putusan perkaranya. Sehingga, dalam hal ini konstitusi sama-sama ditegakkan dengan penegakan yang ditopang oleh legislasi dan ajudikasi.
Namun kemudian, sambung Fajar, urusan legislasi menjadi rumit setelah kehadiran MK. Ada sebuah pernyatan ahli menyatakan pembuat hukum adalah yang menafsirkan hukum itu sendiri dan bukan yang menuliskan atau membuatnya pertama kali. Jadi, merujuk pada pandangan ini maka yang memiliki kewenangan akhir ini ada pada MK.
Fajar melihat bahwa MK dalam banyak pustaka bukan hanya menguji undang-undang, tetapi juga pertama bahwa MK menyatakannya inkonstitusional. Dalam konteks legislasi, hal yang diputuskan MK ini bisa mempengaruhi legislasi yang berimbas pada produk undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang karena produknya kemudian menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua adalah mandat konstitusional bahwa MK tidak menyatakan secara langsung invalid pada sebuah undang-undang, tetapi adanya mandat konstitusional MK dalam proses legislasi tersebut melahirkan sebuah perintah mengikat dan langsung pada lembaga legislatif.
“Maka putusan MK dalam pertimbangannya yang memuat mandat konstitusional inilah yang membuat DPR menganggap MK terlalu jauh mencampuri urusan dalam legislasi,” ungkap Fajar dalam menjabarkan kehadiran MK pada masa awal kelahirannya di dunia.
Sementara itu, dalam keberadaan MKRI dalam rentang 2003–2015, Fajar menjelaskan terdapat enam varian mandat konstitusional dalam putusan MK. Di antaranya, adanya pesan dari MK berupa rekomendasi bagi pembentuk UU agar melakukan perubahan dalam pembuatan UU. “Jadi hanya berupa saran agar pembentuk undang-undang melakukan sesuatu sesuai dengan mandat MK,” sampai Fajar.
Selajutnya adalah MK memberikan alternatif penormaan dalam membentuk UU; MK dapat melarang pemuatan norma tertentu untuk masa mendatang; MK mengharuskan pembentuk UU menyempurnakan UU namun keharusan itu tidak disertai apa-apa; keharusan melakukan tersebut dilekatkan MK dengan batas waktu pada pembentuk UU untuk melakukan penyempurnaan UU; dan keharusan menyempurnakan UU dalam batas waktu tertentu disertai ultimatum atau sanksi.
Intervensi Positif dari Negara
Sementara itu, Dosen UII Idul Rishan dalam makalah berjudul “Intervensi Negara dan Kekuasaan Kehakiman” mengamati bahwa dalam rentang 20 tahun ini, kemerdekaan kehakiman itu tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Namun, menurutnya intervensi negara itu terkadang juga dibutuhkan terutama saat transisi politik. Baginya yang perlu di diwaspadai dari intervensi itu adalah keberadaannya apakah nanti menciderai performa kekuasaan kehakiman atau tidak. “Maka politik hukum atas kekuasaan kehakiman adalah bentuk intervensi negara yang bermakna positif dan itu perlu,” jelas Idul.
Justru, Idul melihat bahwa ancaman kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu bisa juga dari internal kehakiman itu sendiri, seperti performa organisasi yang minim pengawasan atau ancaman anggaran peradilan. Sehingga, personil di peradilan termasuk hakim-hakimnya hakim tidak bisa mempertahankan independensinya.
Selanjutnya, Dosen UII Sri Hastuti Puspitasari dalam presentasi berjudul “Reformasi dan Peran DPR dalam Perekrutan Hakim” menyebutkan bahwa pada dasarnya reformasi mengarahkan negara pada menciptakan sistem politik yang demokrastis melalui langkah konsolidasi demokrasi. Ada relasi yang erat antara reformasi, konsolidasi, dan tujuan akhir demokrasi. Salah satu langkah konkretnya adalah penataan lembaga perwakilan, partai politik, pemilu. Termasuk pula di dalamnya adalah pelibatan DPR dalam pemilihan jabatan hakim agung dan hakim konstitusi. Dalam kekuasaan kehakiman hal ini adalah bagian dari konsolidasi. Menurutnya, pertimbangan ini dilakukan atas beberapa alasan, di antaranya DPR adalah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan karena merepresentasikan masyarakat yang memilihnya. Berikutnya bahwa DPR adalah manifestasi kedaulatan rakyat, keberadaan DPR tidak lain sebagai fungsi check and balances antarlembaga negara, dan keberdaan DPR adalah dalam rangka pembatasan kekuasaan presiden.
Usai pemaparan materi dari para narasumber, 146 peserta diskusi yang hadir secara daring ini diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan yang relevan dengan tema diskusi. Sehingga, ruang diskusi yang diperuntukkan bagi peminat hukum tata negara in menjadi lebih konkret dalam implementasi hasil diskusinya. (Sri Pujianti/NRA)