JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) pada Senin (22/6/2020) siang. Para Pemohon Nomor 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk.
Para Pemohon melakukan pengujian materiil UU Penyiaran Pasal 1 angka 2, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment). Perlakuan berbeda tersebut terjadi antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata Imam Nasef salah seorang kuasa hukum para Pemohon.
Karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran sebagai pedoman penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, hal ini dinilai Pemohon berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan. Sebagai pedoman penyelenggaraan penyiaran, UU Penyiaran mengatur setidaknya 6 (enam) hal sebagai berikut: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.
Menurut para Pemohon, pembedaan perlakuan tersebut terjadi karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional seperti para Pemohon dan tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT. Pembedaan tersebut berimplikasi pada ketiadaan “level playing field” dalam penyelenggaraan penyiaran, yang akhirnya sangat merugikan para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materil maupun immateriil.
Para Pemohon mendalilkan adanya diversifikasi penyiaran berbasis internet dengan fenomena munculnya layanan OTT yang belum berkepastian hukum dalam UU Penyiaran. Perkembangan internet yang begitu pesat tersebut telah melahirkan berbagai macam platform digital yang dikenal dengan layanan OTT. Layanan OTT yang memiliki output berupa konten gambar, audio, video dan/atau gabungan dari itu semua atau yang masuk ke dalam kategori konten/video on demand/streaming (dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 3/2016 disebutkan sebagai Layanan Konten Melalui Internet). Semua layanan tersebut sebenarnya masuk kategori “siaran” apabila merujuk kepada definisi siaran yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran, “Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran”.
Dengan demikian, menurut para Pemohon, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga melakukan aktivitas penyiaran, sehingga seharusnya masuk dalam rezim penyiaran. Hanya saja perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan. Pada aktivitas penyiaran konvensional yang digunakan adalah pemancarluasan menggunakan spektrum frekuensi radio, sementara pada layanan OTT yang digunakan adalah penyebarluasan menggunakan internet.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tak hanya itu, Pemohon meminta agar pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “…dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”. Sehingga Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran selengkapnya berbunyi, “Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran”.
Lebih Rinci
Ketua Panel Hakim Enny Nurbaningsih memberikan saran agar para Pemohon menyampaikan Kewenangan Mahkamah lebih rinci, dari mulai UUD 1945, UU Kehakiman, UU MK dan seterusnya. “Silahkan ditambahkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baru kemudian Anda simpulkan, “ ujar Enny. Lainnya, Enny meminta para Pemohon menegaskan identitas salah seorang Pemohon sebagai warga negara Australia, agar lebih mewakili badan hukum privat.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku anggota panel menanggapi petitum para Pemohon meminta penambahan frasa pada pasal yang diuji. “Kalau petitum andaikata dikabulkan Majelis, apakah tidak ada implikasi terhadap pasal-pasal yang lain dalam Undang-Undang Penyiaran. Karena Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran merupakan jantungnya, jadi tolong dipelajari,” pesan Arief.
Sedangkan anggota panel lainnya, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai sistematika permohonan para Pemohon sudah baik, tersusun secara sistematis. Namun Wahiduddin mencermati permohonan terkait pengertian penyiaran, agar para Pemohon lebih menjelaskan pengertian penyiaran dan lingkup undang-undang yang mengatur tentang penyiaran. (Nano Tresna Arfana/ASF/LA)