JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti dan pegiat advokasi, melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para Pemohon uji UU 2/2020 terbagi dalam dua kelompok yakni dalam perkara yang teregistrasi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dan perkara Nomor 38/PUU-XVIII/2020. Para Pemohon yang tergabung dalam permohonan perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yaitu Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah.
Kemudian para Pemohon yang tergabung dalam permohonan perkara Nomor 38/PUU-XVIII/2020 yaitu Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA).
Sidang pengujian UU 2/2020 digelar pada Kamis (18/6/2020) di ruang Sidang Pleno MK. Sidang pleno dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto bersama dengan Hakim Konstiusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh. Dalam rangka upaya pencegahan persebaran Covid-19, dalam persidangan ini MK tetap menerapkan pola penjarakan fisik (physical distancing). Pelaksanaan aturan ini telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 1 ayat (3); Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf b; Pasal 4 ayat (2), Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3); serta Pasal 29 UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945.
Violla Reininda selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan keberlakuan norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi pendidikan. Akibatnya, Pemohon kesulitan untuk berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dibuatnya untuk meningkatkan pendidikan kerakyatan.
Penyalahgunaan Uang Negara
Selain itu keberlakukan norma tersebut yang lingkup pengaturannya sangat luas, berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan. Para Pemohon mencermat bahwa pada Judul dan Pasal 1 ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prasyarat kegentingan yang memaksa.
Apabila dilihat konsiderans pembentukan UU ini, sambung Violla Reininda, terdapat kontradiksi ruang lingkup pengaturan, bahwa yang dikehendaki adalah upaya luar biasa pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Tetapi judul dan ruang lingkup pasal tersebut ditujukan untuk menangani persoalan krisis ekonomi dan stabilitas keuangan yang lebih luas dari perihal penanganan Covid-19.
“Maka perlu untuk melimitasi ruang lingkup norma ini hanya untuk penanganan dan penyelesaian masalah pandemi Covid-19 saja,” terangnya.
Selain itu, para Pemohon juga menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, kedaulatan rakyat, fungsi pengawasan dan anggaran DPR serta pengelolaan keuangan negara. Meskipun dalam masa darurat, Presiden sebagai pemegang kekuasaan penyelenggara negara agar tidak menyimpang dari konstitusi, haruslah tetap diimbangi oleh kekuasaan legisatif untuk melakukan pengawasan dalam mengevaluasi besaran defisit dan kemampuan keuangan negara pada tiap tahun anggaran.
Bertentangan dengan Asas Otonomi
Para Pemohon juga melihat Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 bertentangan dengan asas otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UU 1945. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan dan kemandirian untuk menentukan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Padahal penyususnan dan pengelolaan APBD merupakan aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Berikutnya Pasal 29 UU Covid-19 ini juga dinilai para Pemohon tidak memberikan jangka waktu keberlakuannya kendati diterbitkan dalam rangka menyelesaikan persoalan masa darurat kesehatan masyarakat. Dengan demikian, untuk menciptakan kepastian hukum yang adil maka perlu dilakukan pembatasan masa berlakunya hingga status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 ini dicabut presiden.
Kebal Hukum
Pada kesempatan yang sama, para Pemohon perkara yang teregistrasi Nomor 38/PUU-XVIII/2020 memaparkan permohonan pengujian formil dan materiil Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020.
Pasal 27 ayat (1)UU 2/2020 menyatan, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Pasal 27 ayat (2)UU 2/2020 menyatan, “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Kemudian Pasal 27 ayat (3)UU 2/2020 menyatan, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”
Para Pemohon mendalilkan Pasal 27 UU 2/2020 menjadikan penguasa atau pejabat KKSK, OJK, BI, pejabat Kementerian Keuangan, menjadi kebal hukum. Mereka tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana, maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara.
“Sehingga ketentuan norma ini menjadikan para pejabat tersebut menjadi manusia setengah dewa dan ini menciderai keadlan bagi seluruh rakyat Indonesai termasuk para Pemohon,” terang Kurniawan Adi Nugroho.
Untuk itu, para Pemohon memohonkan kepada Mahkamah menyatakan Pasal 27; Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menanggapi paparan dari kedua permohonan tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto menyampaikan nasihat kepada para Pemohon. Aswanto antara lain meminta kepada para Pemohon untuk mengelaborasi permohonannya agar lebih jelas kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon akibat berlakunya UU 2/2020. (Utami/Halim/NRA).