JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan (UU Karantina Kesehatan) pada Kamis, (11/6/2020). Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 34/PUU-XVIII/2020 ini, MK tetap menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) selama masih diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI Jakarta. Pemberlakukan ketentuan ini tetap berpedoman pada ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Para Pemohon yang terdiri atas Runik Erwanto (Pemohon I) dan Singgih Tomi Gumilang (Pemohon II) ini mendalilkan Pasal 55 ayat (1) UU Karantina Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 55 ayat (1) UU Karantina Kesehatan menyatakan, “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat,”
Para Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat ini merasa dirugikan karena para Pemohon tidak dapat terbang mendampingi klien mereka dalam persidangan karena sedang diberlakukan PSBB di Jakarta yaitu adanya larangan terbang pesawat penumpang yang diberlakukan oleh Kementerian Perhubungan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri tahun 1441 Hijryah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (Covid 19). Sedangkan Majelis Hakim yang menangani perkara para Pemohon ingin tetap melanjutkan persidangan meski ahli dan para Pemohon sebagai penasehat hukum tidak bisa hadir di persidangan. Hal ini merugikan diri Terdakwa dan para Pemohon.
Menurut para Pemohon, pemberlakuan PSBB tidak ada kaitannya dengan pelarangan orang keluar masuk kota Jakarta yang sedang diberlakukan PSBB sebab berlakunya PSBB tidak melarang kantor pemerintah tutup. Pelarangan transportasi udara dengan dalil PSBB dan masa mudik idul fitri sangat merugikan para Pemohon. Seharusnya pemerintah memberlakukan karantina wilayah, dengan begitu semua aktivitas akan terhenti termasuk jadwal persidangan akan ditunda. Tetapi pemerintah khawatir jika diberlakukan karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menanggung semua kebutuhan dasar semua orang di Jakarta.
Dalam sidang pendahuluan ini, M. Sholeh selaku kuasa hukum para Pemohon menjabarkan pada 2 Maret 2020 untuk pertama kali Pemerintah Indonesia mengumumkan ada warga yang terpapar Covid-19. Atas hal tersebut Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kemudian aturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 .
Melalui aturan ini diambil jalan tengah bagi kepala daerah untk memberlakukan PSBB bagi daerah yang angka korbannya besar dengan persetujuan dari Menteri Kesehatan. Namun, dari sudut pandang para Pemohon yang dilakukan pemerintah bukanlah PSBB melainkan Karantina Wilayah (lockdown). Hal ini terlihat dari kebijakan larangan-larangan yang dilakukan pemerintah berupa larangan mudik, yang diberlakukan misalnya di daerah DKI Jakarta, Surabaya, dan beberapa daerah lainnya. Padahal, apabila merujuk pada aturan PSBB, tidak ada ketentuan pelarangan yang dimaksudkan tersebut.
“Bukankah ini sebentuk pelanggaran hukum hak asasi manusia dengan melakukan pelarangan mudik yang tidak jelas payung hukumnya. Sehingga kondisi ini tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para Pemohon dan ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” sampai Sholeh di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Selanjutnya, para Pemohon melihat, apabila dikaitkan aturan pelarangan orang keluar masuk daerah pada masa PSBB, tentu tidak tepat jika aturan tersebut dijadikan landasan hukumnya karena hal demikian hanya ada pada aturan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 s.d. Pasal 55 UU Karantina Kesehatan. Dalam pasal a quo terutama kalimat “kebutuhan hidup dasar orang” yang menjadi persoalan bagi pemerintah jika karantina wilayah diberlakukan adalah pemerintah khawatir jika harus membiayai makan penduduk yang diberlakukan karantina wilayah. Makna “orang” yang dimaksud adalah seseorang anak, dewasa, tua, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin. Menurut para Pemohon pasal a quo harus dimaknai secara konstitusional bersyarat yaitu hanya orang miskin yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Dengan begitu beban anggaran bagi pemerintah pusat jika memberlakukan karantina wilayah tidak terlalu besar.
“Berdasarkan uraian tersebut, para Pemohon memohon agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 55 ayat (1) harus dinyatakan konstitusional bersyarat dengan makna orang miskin,” ucap Sholeh di Ruang Sidang Pleno MK.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihat hakim menyebutkan beberapa pernyataan para Pemohon dalam permohonan yang sudah tidak relevan. Mengingat permohonan diajukan pada April 2020 lalu sedangkan perkara baru disidangkan pada Juni 2020 sehingga terdapat beberapa hal yang tidak berlaku lagi dalam kondisi yang berlaku saat sidang dilangsungkan di MK. Selanjutnya, Saldi melihat pada permohonan para Pemohon belum terurai dengan jelas kerugian konstitusional dengan keberlakukan norma a quo. Alas hukum atau dalil kerugian konstitusional yang dimohonan belum menunjukkan keterkaitan yang bermakna dan ketersambungan antara satu norma dengan kerugian yang dimaksudkan.
“Jadi, bagaimana Saudara bisa menjelaskan logika ketersambungan antara keduanya. Sehingga jika ini bisa dijelaskan, maka Majelis Hakim pun bisa mencarikan dalil itu benar ada masalah konstitusionalnya,” kata Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny meminta agar para Pemohon menguraikan hak-hak yang diberikan UUD kepada setiap warga dan hak-hak yang dirugikan dari keberlakuan pasal-pasal tersebut yang dialami oleh para Pemohon, “Ini masih curhat isi permohonannya, belum membahas problematika hukum yang terjadi dan dialami. Anggapan kerugiannya seperti apa dengan diberlakukannya UU ini, itu harus dijelaskan,” jelas Enny. (Sri Pujianti/LTS/NRA).