JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU 1/1946), pada Selasa (9/6/2020) di Ruang Sidang MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 33/PUU-XVIII/2020 dimohonkan Nelly Rosa Yulhiana, istri dari Yudi Syamhudi Suyuti yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena tindak pidana makar.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan kasus konkret yang dialami oleh suaminya. Suami Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Penahanan tersebut menyebabkan suami Pemohon ditahan dengan tuntutan hukuman penjara setinggi-tingginya tiga tahun dan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Padahal seharusnya mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sampai putusan akhir.
“Sehingga pemohon berpendapat bahwa pasal 14 ayat (1) hanya dapat melakukan permohonan selama pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan sampai putusan akhir,” ujar Tonin Tachta Singarimbun selaku kuasa hukum.
Selain itu, Pemohon menganggap bahwa kedua pasal tersebut menyebabkan kegiatan Pemohon sebagai aktivis sangat terancam dan tidak terlidungi konstitusi. Padahal sebagai rakyat sekaligus aktivis, Pemohon seharusnya tidak dibatasi dalam menyampaikan pendapat/hasil kajiannya/karya ilmiahnya karena telah dijamin UUD, yang menyatakan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan
Tonin memaparkan bahwa kedua pasal tersebut merupakan pencabutan dan penambahan atas ketentuan dalam Pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab V mengenai ketertiban umum dalam buku II KUHP mengenai kejahatan. Bahwa pada mulanya hanya terdapat satu ayat dalam Pasal 171 KUHP yang berbunyi “Barang siapa yang menyiarkan kabar bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya satu tahun dan denda paling banyak Rp. 300.” “Rumusan ini masih dipertahankan namun dengan perubahan ancaman pidana saja. Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946 berasal dari rumusan dari Verdodening Militair Gezag yang diberlakukan pada tanggal 21 Mei 1940 dengan perubahan beberapa redaksi dan unsur," tegasnya.
Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 171 KUHP dimaksudkan untuk menghapuskan kegelisahan dalam masyarakat serta upaya dari pemerintah kolonial Hindia Belanda mempertahankan ketertiban umum dari berita yang dipandang bohong termasuk juga berita yang dihembuskan oleh pihak yang menginginkan kemerdekaan. Sementara rumusan Pasal 15 UU 1/1946 merupakan rumusan baru. Pemohon menilai perlu adanya penyesuaian pada peraturan hukum pidana dikarenakan perbedaan keadaan pada 1946 dengan 2020.
Selain itu, Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 15 UU 1/1946 mensyaratkan adanya tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah unsur menyiarkan atau menyebarkan, unsur kedua berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurang, dan unsur ketiga adalah keonaran. Ketiga unsur yang terkandung itu dianggap Pemohon belum memenuhi hak konstitusi.
“Tidak ada konstitusi yang dikandung oleh Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, sehingga dengan demikian norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 belum memberi perlindungan konstitusi terhadap pemohon karena belum menyatakan syarat terhadap ke-3 unsur yang dikandung norma tersebut yaitu: unsur menyiarkan atau menyebarkan, unsur kedua berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurang, dan unsur ketiga adalah keonaran,” imbuh Tonin.
Kemudian Pemohon juga menyebut dalil Pasal 14 ayat (1), ayat (2) atau Pasal 15 UU 1/1946 sebagai dasar 3 (tiga) dakwaan kepada suami Pemohon oleh JPU menunjukkan keragu-raguan. Hal tersebut karena penetapan tersangka oleh penyidik adalah Pasal 110 KUHP juncto Pasal 107 KUHP juncto Pasal 87 KUHP dan atau Pasal 207 KUHP dan atau Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU 1/1946 dalam dugaan perbuatan tindak pidana makar dengan niat menggulilngkan pemerintahan yang sah dan atau kejahatan terhadap penguasa umum dan atau penyebaran berita bohong.
Perbaiki Sistematika Permohonan
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan. Selain itu, ia juga meminta pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami akibat adanya UU tersebut. Ia juga meminta agar menguraikan kausalitas antara kerugian konstitusional pemohon dengan berlakunya norma yang diujikan. “Jadi, ada hubungan kausalitas bahwa hak konstitusional Ibu 14 yang dijamin oleh konstitusi tadi benar-benar dirugikan oleh berlakunya pasal. Ini tergambarkan juga,” ujarnya.
Suhartoyo juga menambahkan agar Pemohon membedakan pihak yang mengalami kerugian antara dirinya atau suaminya. “Kalau suami yang mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15, kemudian hingga dijadikan tersangka dan hari ini dijadikan terdakwa di Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat. Sesungguhnya yang tepat menjadi Pemohon siapa? Kalau Ibu yang tetap firm dengan Permohonan ini, posisi Ibu sebagai apa? Sesungguhnya yang mengalami kerugian itu siapa? Ini berkaitan dengan identitas dan saya kaitkan dengan legal standing,” jelas Suhartoyo.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta agar Pemohon mencantumkan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. “Semakin banyak batu ujinya atau pasal konstitusi yang digunakan sebagai landasan konstitusional pengujian atau istilah awamnya batu ujinya, maka uraian kenapa Pasal 14, Pasal 15 bertentangan dengan konstitusi,” terang Arief.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan selambatnya pada 22 Juni 2020. (Utami/FY/LA)