JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) pada Selasa, (9/6/2020). Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 21/PUU-XVIII/2020 ini, MK tetap menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) selama masih diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI Jakarta. Pemberlakukan ketentuan ini tetap berpedoman pada ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Para Pemohon yang terdiri atas Inri Januar (Pemohon I), Oktoriusman Halawa (Pemohon II), dan Eliadi Hulu (Pemohon III) ini mendalilkan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945. Dalam sidang dengan agenda penyampaian perbaikan permohonan ini, para Pemohon menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonan, di antaranya kedudukan hukum (legal standing) dan kepentingan konstitusional para Pemohon.
Terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon, Oktoriusman selaku Pemohon II menguraikan bahwa Pemohon I adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional dan secara potensial terlanggar haknya dengan berlakunya Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan. Pemohon I merupakan debitur yang meletakkan jaminan atas tanah dan bangunan sebagai jaminan tanggungan pada sebuah bank swasta nasional dengan telah enam kali membayarkan cicilan sehingga dirinya terikat perjajian kredit bank tertanggal 17/11/2017. Sehingga, lahirlah perjanjian pokok yang tertuang dalam sertifikat hak milik. Eksistensi perjanjian pokok ini melahirkan perjanjian ikutan yang melibatkan Pemohon I.
Pemberlakuan ketentuan PSBB yang membatasi ruang gerak banyak pelaku ekonomi, berdampak pula pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat termasuk Pemohon I. Besar kemungkinan Pemohon I mengalami ketidakmampuan melunasi cicilan karena berkurangnya penghasilan. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketidakmampuan Pemohon I untuk melaksanakan kewajibannya sebagai debitur. Sehingga dapat dipastikan pada saat hal ini terjadi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap harta benda yang menjadi objek hak tanggungan oleh karena berlakunya pasal-pasal tersebut.
“Maka berdasarkan hal tersebut, Pemohon I telah memenuhi ketentuan mengalami kerugian konsitusional yang potensial akan terjadi di kemudian hari,” ucap Oktoriusman di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca Juga…
Tak Beri Jaminan Perlindungan Hukum, UU Hak Tanggungan Digugat
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyebutkan bahwa objek hak tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda yang berkaitan dengan tanah, salah satunya bangunan yang berada di atas maupun di bawahnya. Dalam kaitan dengan hal ini, para Pemohon merasa potensial dirugikan hak konstitusionalnya karena pada prinsipnya Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap pemegang hak tanggungan (kreditur) dengan menyamakan kekuatan eksekusi sertifikat hak tanggungan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan yang berbunyi, “Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada atau (2) mempunyai kekeuatan ekssekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.”
Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan yang berbunyi, “Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atas b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan mendahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya.”
Dengan demikian, para Pemohon melihat pasal-pasal tersebut hanya berfokus pada pemberian kepastian hukum kepada kreditur. Kreditur dapat saja melakukan eksekusi objek hak tanggungan secara serta-merta, apabila pemberi hak tanggungan (debitur) mengalami cidera janji. Oleh sebab itu, ketentuan pasal-pasal tersebut khususnya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta frasa ‘cidera janji’ telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi debitur.
Selain itu, para Pemohon juga melihat bahwa apabila debitur bisa membuktikan dirinya lalai melakukan prestasi bukan karena kehendak sendiri, melainkan akibat adanya keadaan memaksa (overmacht), maka diperlukan mekanisme ruang baginya dalam melakukan hal tersebut untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Dengan demikian, para Pemohon berpendapat pasal-pasal tersebut tidak memberikan perlindungan hukum, keadilan, dan kepestian hukum bagi debitur.
Sebagai informasi, MK dalam pelaksanaan persidangan memberikan pilihan kepada para pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi bahwa selain hadir secara langsung di ruang sidang, para pihak juga dapat menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online). Untuk mendukung jalannya persidangan daring ini, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx guna mempermudah para pihak berperkara untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan permohonan persidangan secara daring sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Para pihak juga terlebih dahulu harus menginformasikan perihal perangkat yang dimanfaatkan untuk mengikuti jalannya persidangan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK. Hal ini perlu dilakukan, guna memastikan ketersesuaian perangkat dan kelancaran jaringan dalam penyelenggaraan persidangan nantinya. (Sri Pujianti/RA/NRA).