JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemerintah mengakui telah mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi undang-undang. Demikian penuturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati yang mewakili Presiden dalam sidang pengujian materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Perppu Penanganan Covid-19) pada Rabu (20/5/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang ketiga dari Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 dan 24/PUU-XVIII/2020 ini diselenggarakan dengan penerapan pola penjarakan fisik (physical distancing) guna mendukung pencegahan penyebaran Covid-19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Lebih lanjut, Sri Mulyani menyebutkan bahwa DPR pun telah memberikan persetujuan untuk menetapkan RUU tentang penetapan Perppu 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang. Setelah persetujuan DPR tersebut, Pemerintah juga telah mengesahkan persetujuan DPR tersebut melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Desease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020 pada Selasa, 12 Mei 2020.
“Hal tersebut tercantum dalam Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, dan selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020,” jelas Sri Mulyani di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Logika Hukum dan Politik
Terkait hal tersebut, Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang memberikan kesempatan kepada para Pemohon perihal perkara yang diajukan pihaknya. Kemudian, Zainal Arifin Hoesein selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon Nomor 23/PUU-XVIII/2020 menyebutkan bahwa pihaknya menerima prinsip dari pernyataan Pemerintah dengan konsekuensi pihaknya akan kehilangan objek permohonan perkara. Namun demikian, dengan menggunakan logika hukum yang lurus, Zainal melihat telah terjadi suatu hal luar biasa dalam kecepatan pengesahan undang-undang. Sehingga dirinya menilai telah terjadi pencampuran logika politik dalam agenda ini. “Jadi, hukum sudah tercampur dengan logika politik dan akan menciderai prinsip-prinsip negara hukum,” ujar Zainal.
Ditambahkan pula oleh Ahmad Yani selaku kuasa hukum perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 lainnya, bahwa mengingat objek perkara telah menjadi menjadi undang-undang, maka pihaknya akan mengajukan gugatan baru dengan berbagai persiapan argumentasi yang jelas dan tegas guna memperkuat pengujian nantinya. Menyikapi percepatan pengesahan Perppu menjadi undang-undang ini, Yani berpendapat bahwa Perppu a quo sejatinya belum waktunya untuk forum DPR, baik memberikan persetujuan maupun penolakan.
“Keputusan politik sudah diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Ya, nanti mungkin menjadi objek gugatan kami yang akan datang, baik formal prosedural maupun secara substansial terhadap Perppu ini sendiri yang telah menjadi undang-undang,” terang Yani dihadapan sidang yang juga dihadiri tujuh hakim konstitusi lainnya.
Belum Ada Bukti
Sementara itu, Kurniawan Adi Nugroho selaku kuasa hukum para Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 mengemukakan argumentasi terkait pernyataan Pemerintah. Bahwa apabila merujuk Pasal 37 Undang-Undang MK, sambung Kurniawan, Majelis Mahkamah akan memeriksa sebuah perkara berdasarkan bukti yang dihadirkan di persidangan. Untuk itu, pihaknya meminta Pemerintah menyerahkan bukti surat Presiden kepada DPR, termasuk juga dokumentasi surat menyurat di lingkungan Pemerintah dalam hal pengundangan Perppu a quo menjadi undang-undang.
“Oleh karena itu, kami mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk memerintahkan kepada Pihak Termohon menghadirkan bukti-bukti itu. Sehingga dari situ akan kelihatan, apakah memang benar Perppu ini sudah diundangkan atau tidak. Jadi, tidak hanya sekadar statement semata,” papar Kurniawan.
Seperti diketahui, Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang profesi. Sedangkan Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, para Pemohon ini menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019. Di samping itu, para Pemohon juga melihat bahwa ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3% Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Selain itu, para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi.
Selain itu, para Pemohon menyebutkan Pasal 27 ayat (1) Perppu a quo menyatakan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukanlah kerugian negara, padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Para Pemohon juga berpendapat bahwa pada Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo terdapat sisipan frasa “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Maka, Pemohon berpandangan frasa “jika” bersifat multitafsir dimana pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa dalil sebuah kebijakan dengan itikad baik dan merugikan keuangan negara harus diuji melalui proses hukum yang terbuka sehingga tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subjektif oleh penyelenggara pemerintahan.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyebutkan bahwa untuk mengetahui kelanjutan dari Permohonan ini, baik bagi Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 maupun Nomor 24/PUUXVIII/2020 serta Kuasa Presiden, maka Mahkamah melalui Kepaniteraan akan menyampaikan surat pemberitahuan nantinya mengenai hasil Rapat Permusyawaratan Hakim kepada para pihak.
Sebagai informasi tambahan, demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, MK telah mengimbau para Pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan secara daring (online). Untuk mendukung jalannya persidangan dengan cara tersebut, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan CloudX dalam mempermudah berbagai pihak untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang akan mengikuti persidangan diharapkan melaporkan terlebih dahulu perangkat yang dimanfaatkan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Sementara para pihak yang ingin mengikuti perkembangan perkara yang sedang disidangkan dapat menyaksikan melalui live streaming di laman resmi atau akun YouTube MK di tempat tinggal masing-masing. (Sri Pujianti/RA/LA)