JAKARTA, HUMAS MKRI – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI Jakarta masih berlangsung. Pada saat yang sama, Mahkamah Konstitusi (MK) harus melaksanakan kewenangan konstitusional yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
MK pun menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) pada Selasa (12/5/2020). Tentu saja sidang dilaksanakan dengan menerapkan pola penjarakkan fisik (physical distancing) sesuai ketentuan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Namun demikian, untuk menghindari adanya pemahaman yang keliru di masyarakat, Ketua Panel Hakim Suhartoyo setelah membuka persidangan mengatakan bahwa Mahkamah memberikan pilihan kepada para pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi, dalam pelaksanaan persidangan. Pilihan dimaksud yaitu hadir secara langsung di ruang sidang, atau dengan menggunakan fasilitas persidangan dalam jaringan/daring (online).
Suhartoyo mengungkapkan, untuk mendukung jalannya persidangan daring ini, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan Cloudx guna mempermudah para pihak berperkara untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan permohonan persidangan secara daring sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Para pihak juga terlebih dahulu harus menginformasikan perihal perangkat yang dimanfaatkan untuk mengikuti jalannya persidangan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK. Hal ini perlu dilakukan, guna memastikan ketersesuaian perangkat dan kelancaran jaringan dalam penyelenggaraan persidangan nantinya.
Usai menyampaikan pemberitahuan, Panel Hakim Konstitusi masuk ke materi persidangan perkara Nomor 21/PUU-XVIII/2020. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan. Di meja Pemohon hadir Inri Januar (Pemohon I), Oktoriusmas Halawa (Pemohon II), dan Eliadi Hulu (Pemohon III). Para Pemohon mendalilkan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan yang berbunyi, “Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada atau (2) mempunyai kekeuatan ekssekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.” Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan yang berbunyi, “Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atas b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan mendahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya.”
Menurut para Pemohon, objek hak tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda yang berkaitan dengan tanah, salah satunya bangunan yang berada di atas maupun di bawahnya. Dalam kaitan dengan hal ini, para Pemohon merasa potensial dirugikan hak konstitusionalnya karena pada prinsipnya pasal-pasal tersebut memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap pemegang hak tanggungan (kreditur) dengan menyamakan kekuatan eksekusi sertifikat hak tanggungan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga, para Pemohon melihat pasal-pasal tersebut hanya berfokus pada pemberian kepastian hukum kepada kreditur. Kreditur dapat saja melakukan eksekusi objek hak tanggungan secara serta-merta, apabila pemberi hak tanggungan (debitur) mengalami cidera janji.
“Oleh karena itu, ketentuan pasal-pasal a quo khususnya sepanjang frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta frasa ‘cidera janji’ telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi debitur,” jelas Eliadi selaku salah satu Pemohon di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Dalam argumentasinya, para Pemohon mengutip pendapat J. Satrio yang menyatakan bahwa debitur dikatakan cidera janji apabila tidak memenuhi kewajiban perikatan dan adanya unsur kesalahan. Apabila debitur tersebut tidak memiliki unsur salah, maka ia tidak dapat dikatakan telah wanprestasi atau mengalami cidera janji. Salah satu kriteria dari kategori ini adalah, ketika debitur mengalami keadaan memaksa, hanya dapat dibuktikan melalui pengadilan. Sehingga, pernyataan wanprestasi atau cidera janji sejatinya tidak boleh hanya atas penilaian dari kreditur secara sepihak.
Selain itu, para Pemohon pun melihat bahwa apabila debitur bisa membuktikan dirinya lalai melakukan prestasi bukan karena kehendak sendiri, melainkan akibat adanya keadaan memaksa (overmacht), maka diperlukan mekanisme ruang baginya dalam melakukan hal tersebut untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Dengan demikian, para Pemohon berpendapat pasal-pasal tersebut tidak memberikan perlindungan hukum, keadlan, dan kepestian hukum bagi debitur.
Kerugian Konstitusional
Melalui nasihat Mahkamah, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan bahwa para Pemohon harus mempertajam kerugian konstitusional yang dialaminya akibat keberlakuan norma tersebut. Kerugian itu belum tergambar dengan jelas. “Sebenarnya jika melihat undang-undangnya maka ini sudah 24 tahun dan undang-undang ini cukup penting karena berkaitan dengan tanggungan atas tanah. Jadi, mungkin Anda bisa melihat perjalanan undang-undang ini dari yang dialami orang lain sebagai gambaran tentang apakah ada sebuah pertentangan dan kerugian, termasuk bagi para Pemohon ini,” terang Wahiduddin di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul. meminta agar para Pemohon dapat menguraikan perbedaan antara frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta frasa ‘cidera janji’ dari yang dimaksudkan dari pasal yang diujikan tersebut.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati perlunya para Pemohon menjelaskan korelasi hak konstitusional dengan berlakunya hak tanggungan yang dimaksudkan. Untuk memudahkan para Pemohon, Suhartoyo memberikan sebuah ilustrasi, apabila para Pemohon merupakan pemilik jaminan sebuah rumah atau tanah yang dijaminkan ke bank dan akibat adanya keadaan memaksa sehingga ada angsuran yang tidak terbayar, sedangkan bank tidak menerima alasan apa pun karena segala sesuatunya harus sesuai waktu jatuh tempo. Maka keadaan ini, sambung Suhartoyo, oleh bank dapat saja dilakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang ada tersebut.
Dengan menggambarkan kerugian sejenis ini, Suhartoyo mendapati bahwa para Pemohon paling tidak dapat memberikan pedoman bagi Mahkamah dalam sebuah kasus konkret yang dialaminya secara langsung. Sehingga, terlihat jelas kerugian konstitusional yang dialami dengan keberlakukan norma tersebut. “Perlu diketahui, undang-undang ini dengan UU Jaminan Fidusia itu berbeda karena ada karakter khusus karena kreditur bisa eksekusi sendiri, tetapi kalau di norma ini tidak bisa karena harus minta bantuan pengadilan. Karena barang hak tanggungan yang ada itu masih miliknya debitur. Sedangkan dalam sebuah jaminan fidusia, seseorang menjaminkan untuk utang piutang dan telah ada serah balik nama. Jadi, ini ada hal yang berbeda jika penegasan yang Anda maksud adalah cidera janji itu. Maka harus dikaitkan ke persoalan cidera janji untuk hak tanggungan,” jelas Suhartoyo.
Pada penghujung persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 27 Mei 2020 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/NRA).