JAKARTA, HUMAS MKRI - Meski masih dalam suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Perppu Penanganan Covid-19). Sidang perdana ini diselenggarakan dengan penerapan pola physical distancing sesuai dengan protokol kesehatan yang telah diatur Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
Sidang tersebut digelar untuk tiga nomor perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang profesi; Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lainnya; dan Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai pengacara dan aktivis organisasi kemanusiaan.
Dalam permohonannya, para Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ahmad Yani menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019. Sedangkan dalam Perppu a quo, hanya dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap UU APBN hingga tahun 2022. Pengaturan yang demikian, sambung Ahmad, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.
Di samping itu, para Pemohon juga melihat bahwa ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3% Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebutkan UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.
“Persetujuan DPR ini teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi pasal pada ketentuan a quo, menihilkan arti penting persetujuan DPR ini,” jelas Ahmad di Ruang Sidang MK pada Selasa (28/4/2020) siang.
Keadaan Darurat
Menurut para Pemohon, untuk pelaksanaan keuangan APBN dalam menghadapi hal-hal yang tidak ada pagu anggarannya, dapat dilakukan pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu. Dengan syarat terdapat keadaan darurat yang mengancam kesehatan jiwa atau keutuhan negara. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dalam laporan realisasi anggaran. “Skema pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sebenarnya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi permasalahan perekonomian sebagai akibat wabah Covid-19,” jelas Ahmad.
Potensi Korupsi
Berikutnya, Zainal Arifin Hoesein menyebutkan bahwa Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Hal tersebut karena di dalam pasalnya disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemik, termasuk dalam bidang kebijakan perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Dengan demikian, norma a quo dinilai memberikan keistimewaan bagi pejabat tertentu untuk kebal hukum. Ketentuan ini menunjukkan pula bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dapat melakukan tugasnya apabila merujuk pada ketentuan norma a quo. “Maka dengan demikian, DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut,” terang Zainal selaku salah satu kuasa hukum lainnya dari para Pemohon.
Berikan Imunitas
Pada kesempatan yang sama, para Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 melalui Boyamin Bin Saiman selaku salah satu Pemohon menyebutkan pula bahwa Pasal 27 ayat (1) Perppu a quo menyatakan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukanlah kerugian negara, padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Sehingga hal ini, jelas Boyamin, memberikan imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan. Dengan demikian, pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.
Selain itu, menurut para Pemohon, pada Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo terdapat sisipan frasa “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Maka, frasa “jika” dapat bersifat multitafsir dan pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa dalil sebuah kebijakan dengan itikad baik dan merugikan keuangan negara harus diuji melalui proses hukum yang terbuka. Sehingga tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subjektif oleh penyelenggara pemerintahan.
“Jika imunitas ini perlu diberikan maka batasannya harusnya bersyarat. Sehingga kekebalan ini seharusnya tidak merugikan rakyat termasuk para Pemohon,” urai Boyamin di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh di Ruang Sidang Pleno MK.
Informasi Keuangan
Para Pemohon perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 melalui Arvid Martdwisaktyo selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perppu Penanganan Covid-19 melanggar hak konstitusional untuk mendapatkan informasi atas penggunaan keuangan negara dalam penanganan Covid-19 dan menutup upaya pengawasan hukum bagi peradilan negara. Sehingga pasal tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab dalam mencapai kemakmuran rakyat.
“Hal ini telah menghilangkan hak kostitusional Pemohon di mana telah diberlakukannya PSBB yang sangat mempengaruhi roda perekonomian pribadi Pemohon,” terang Arvid yang hadir bersama Damai Hari Lubis selaku Pemohon.
Oleh karena itu, sambung Arvid, pasal a quo telah menutup pula pertanggungjawaban Pemerintah dalam menggunakan APBN. Karena hal ini menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara, sehingga menandakan telah terjadinya kemunduran hukum di Indonesia.
Kedudukan Hukum
Dalam menanggapi perkara ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan beberapa catatan kepada para Pemohon Perkara 23/PUU-XVIII/2020 bahwa perlu adanya elaborasi terkait legal standing yang menyatakan diri sebagai warga negara yang membayarkan pajak.
“Sehingga perlu diperjelas kedudukan hukum antara kaitan kapasitas para Pemohon sebagai pembayar pajak dengan hak-hak konstitusional tersebut,” jelas Wahiduddin.
Selanjutnya, sambung Wahiduddin, para Pemohon perlu menjelaskan pula hubungan statusnya dengan Pasal 23 UUD 1945 dalam korelasi beberapa profesi. Sehingga identitas para Pemohon dengan hak konstitusional yang terlanggar tersebut ada keterkaitan sebab- akibat yang lebih jelas. Dengan demikian, hal ini dapat membuka ruang wawasan kajian diskusi bagi Mahkamah. Serta perlu adanya uraian komparasi sehubungan dengan penerapan konstitusi terhadap perubahan postur anggaran dari negara lain yang juga mengalami dampak dari wabah Covid-19.
Terhadap perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat, Wahiduddin melihat perlu dijelaskan para Pemohon kaitan dengan kerugian konstitusional yang disasar dari keberlakukan norma a quo. Sedangkan untuk Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020, Wahiduddin hanya melihat jika Pemohon hanya perlu memperbaiki Petitum permohonan.
Kerugian Konstitusional
Sementara itu, Daniel menilai Pemohon perlu menguraikan kerugian konstitusional, baik yang mewakili perorangan, sebagai PNS, maupun sebagai lembaga swadaya masyarakat. Untuk para Pemohon Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 bahwa dalam uraiannya menyebutkan ketentuan mengikat UU APBN 2020, 2021, dan 2022. Dalam hal ini, Daniel menilai perlu agar para Pemohon mengetahui bahwa UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya. Maka hal ini perlu dikoreksi dan dicermati kembali para Pemohon, terutama jika dikaitkan dengan kerugian konstitusional. Sedangkan untuk Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020, Daniel menerangkan bahwa terkait dengan penerapan PSBB memang tidak diatur dalam Perppu a quo, namun aturan hukum di bawahnya. “Sehingga hal ini bukanlah ranah Mahkamah Konstitusi,” saran Daniel.
Selanjutnya, Aswanto menilai, permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 menekankan perbaikan pada hubungan sebab-akibat antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma a quo. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat banyaknya para Pemohon dengan berbagai kapasitas. “Sehingga uraian kerugian perseorangan dan lembaga tidaklah sama,” sebut Aswanto.
Mengakhiri persidangan, Aswanto mengingatkan agar para Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 11 Mei 2020 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/RA/LA)