JAKARTA, HUMAS MKRI - Perbaikan permohonan pengujian Pasal 72 dan Penjelasan Pasal 72, Pasal 143 ayat (4), Penjelasan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disampaikan oleh salah seorang Pemohon, Muhammad Ibnu Fajar Rahim dalam sidang yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/3/2020).
“Ada beberapa perbaikan permohonan yang kami buat. Perbaikan permohonan pertama terkait dengan kata ‘Pemohon’ diganti menjadi ‘Para Pemohon’. Perbaikan berikutnya, kami menghilangkan pendahuluan permohonan agar tidak terkesan seperti penulisan tesis,” ujar Muhammad Ibnu Fajar Rahim didampingi para Pemohon lainnya, Sandi Handika dan Danang Yuda Prawira.
Selain itu ada perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum para Pemohon. “Kami menambahkan kedudukan hukum para Pemohon. Di satu sisi, sebagai warga negara Indonesia yang sewaktu-waktu berpotensi jadi tersangka. Di sisi lain, kami menambahkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai tax payer yang berdasarkan Putusan MK sebelumnya yang menyebutkan warga negara pembayar pajak dipandang memiliki kepentingan sesuai dengan ketentuan UU MK,” kata Ibnu Fajar Rahim kepada Panel Hakim terdiri atas Hakim Konstitusi Aswanto (Ketua Panel), Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing Anggota Panel).
Baca Juga…
Menyoal Ketidaksesuaian Aturan Pemberian Turunan Berkas Perkara
Para Pemohon Perkara 12/PUU-XVIII/2020 ini mendalilkan, ketentuan Pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya menyatakan setiap perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke persidangan, maka pada saat yang bersamaan penuntut umum wajib memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan, dan berkas perkara kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik untuk semua jenis perkara.
Selanjutnya dalam Pasal 72 KUHAP dan lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut pada pokoknya menyatakan adanya hak tersangka atau penasihat hukum untuk meminta turunan berita acara pemeriksaan tersangka pada tingkat penyidikan, berkas perkara dan surat dakwaan pada tingkat penuntutan, serta berkas perkara termasuk putusan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan.
Antinomi kedua pasal tersebut, mengakibatkan para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berpotensi sewaktu-waktu menjadi tersangka atau terdakwa tidak mendapatkan kepastian hukum terhadap apakah pemberian berkas perkara terhadap tersangka atau terdakwa merupakan hak negatif yakni hak atas dasar permintaan tersangka atau terdakwa ataukah kewajiban (hak positif tersangka) bagi penuntut umum. Berdasar pada argumen tersebut, para Pemohon menilai pasal-pasal yg diujikan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memberi kepastian hukum. (Nano Tresna Arfana/NRA).