Presiden sudah menyatakan dukungan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM, terutama yang terjadi di masa lalu. Kunci penuntasan kini ada di tangan Kejaksaan.
Pengembalian berkas hasil penyelidikan oleh Kejaksaan Agung pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) premio April ini belum juga terang kelanjutannya. Muncul desakan agar tersendatnya pengusutan kasus HAM di Kejaksaan itu diserahkan saja ke tangan Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Desakan tersebut diserukan sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti yang mengatasnamakan Kepresidenan Mahasiswa Trisakti di Kejaksaan Agung, Kamis (10/4). Sekelompok mahasiswa itu menilai Kejaksaan telah gagal mengusut pelanggaran HAM berat tragedi Trisakti Semanggi I dan Semanggi II (TSS).
Mulai Rabu (9/4) hingga Jumat (11/4) Indonesia bakal diuji di Dewan HAM PBB, Genewa. Di Tanah Air, perdebatan kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung masih terus bergulir. Sejak penyerahan berkas hasil penyelidikan oleh Kejaksaan Agung ke Komnas HAM pada awal April, kedua lembaga belum lagi duduk bersama meluruskan polemik yang berkembang. Bahkan polemik semakin berkembang setelah Menteri Pertahanan ikut memberikan pernyataan para pensiunan militer tak perlu memenuhi panggilan Komnas HAM. Akhirnya, Komnas mengancam akan membawa perkara ini ke Sidang Dewan HAM PBB.
Menanggapi hal itu, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, âKalau bisa diselesaikan di dalam, kenapa harus ke luar.â Dia mengakui, meski sebenarnya mendesak, Kejaksaan Agung memang belum lagi duduk bersama Komnas membahas persoalan tersebut sejak peristiwa pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM awal April lalu itu.
Di hari yang sama, sebuah diskusi membahas terlantarnya pengusutan pelanggaran HAM berat di masa lalu, digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi. Adalah Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang hingga kini mempertanyakan komitmen Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di depan Ikatan Korban Orang Hilang (Ikohi) beberapa waktu lalu.
Bersamaan dengan hari jadi ke sepuluh Kontras pada 20 Maret lalu, Presiden menegaskan dukungannya untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM di tanah air. Namun hanya beberapa hari setelah komitmen tersebut diucap Presiden, Kejaksaan justru mengembalikan berkas penyelidikan pada Komnas HAM.
Koordinator Badan Pekerja Kontras Usman Hamid justru mempertanyakan komitmen presiden tersebut. Ia masih meragukan, apakah komitmen RI-1 itu benar-benar atau sekedar basa-basi. âJangan-jangan hanya cari muka untuk pemilu 2009,â kata Usman. Sebab, toh penyelesaian kasus HAM sebenarnya tak harus atas komitmen presiden, tapi memang sudah menjadi mandat konstitusi.
Anggota Komisi III DPR RI Soeripto mengatakan, kunci dari penganganan kasus HAM berat di masa lalu adalah penyeragaman persepsi tentang prosedur hukum. Kejaksaan, ujarnya, tidak semestinya berdalih harus ada pengadilan HAM ad hoc dulu.
Azis Syamsudin, Wakil Ketua Komisi III segendang sepenarian dengan Soeripto. Dia menegaskan, dalam pengusutan kasus pelanggaran HAM, prinsip persamaan di depan hukum harus dikedepankan. âJenderal atau bukan, Komnas silahkan periksa mereka. Kalau tidak datang, gunakan upaya paksa,â selorohnya. Namun lebih dari itu, persamaan persepsi antara Kejaksaan dan Komnas HAM soal prosedur pengadilan harus disamakan terlebih dulu. Demi nasib para keluarga korban, lanjut Azis, DPR sudah menyampaikanpada Presiden agar polemik tersebut diselesaikan.
Sedangkan menurut pengamat politik dari CSIS Indra J Pilliang, harapan penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak bisa dibebankan melulu di pundak presiden. Yang bisa dilakukan presiden hanya mendorong. âKewenangan presiden terbatas,â ujarnya.
Mengenai keraguan komitmen ezim yang tengah berkuasa, Indra memberikan tips. Komitmen penuntasan kasus-kasus HAM, bebernya, harus mulai dituntut sejak kampanye pemilihan presiden. âCapres yang maju harus diminta menunjukkan komitmennya. Kalau tidak ada, jangan dipilih,â saran Indra.
Menurutnya, bola panas pengusutan pelanggaran HAM di masa lalu kini berada di tangan Kejaksaan. Penuntasan kasus HAM, ujarnya, memang memerlukan dukungan politik dari pemerintah yang tengah berkuasa. Pemerintah sekarang, patut diharapkan komitmennya. Sebab, secara langsung mereka tidak terkait dengan kasus-kasus tersebut.
Namun demikian, persoalan pemrosesan HAM untuk perkara yang terjadi di masa lalu (seperti kasus TSS), membutuhkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Setidaknya itulah alasan yKorps Adhyaksa ogah menyidik. Logika yang dipakai Kejaksaan, kegiatan penyidikan seperti penggeledahan dan penyitaan membutuhkan ijin dari pengadilan. Jika pengadilannya belum ada, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Kejaksaan bakal illegal.
Selain penyamaan persepsi antarlembaga, Juru Bicara Komnas HAM Hesti Armiwulan mengatakan, revisi UU Pengadilan HAM adalah suatu keharusan. Revisi harus bisa menjamin adanya tindaklanjut rekomendasi Komnas HAM atas dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berati. "Intinya kami menginginkan rekomendasi kami ditindaklanjuti," papar Hesti.
Tips buat Kejaksaan
Daripada menunggu kejelasan alur perkara di pengadilan HAM ad hoc lewat revisi Undang-Undang No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM, Direktur Eksekutif ElSAM Agung Putri memberikan tips buat Kejaksaan. Menurutnya, prosedur melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam proses penyidikan kasus pelanggaran HAM tidak perlu menunggu dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.
Alasan Kejaksaan yagn menyatakan harus ada ijin pengadilan penggeledahan dan penyitaan dalam melakukan penyidikan didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 43. Dalam pasal itu, ujar Putri, âhanya memerlukan ijin khusus dari pengadilan setempat, kecuali undang-undang menentukan lain.â
Dengan demikian, karena UU Pengadilan HAM tidak menentukan prosedur tersebut, Agung Putri menyarankan, penyidik Kejaksaan Agung cukup meminta ijin kepada ketua pengadilan setempat di mana akan dilakukan upaya penggeledahan dan penyitaan. Cukup sederhana, bukan? (NNC/Rzk)
Sumber www.hukumonline.com
Foto http://deni3wardana.files.wordpress.com