JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sudah sesuai dengan prinsip amendemen UUD 1945. Kehadiran UU BPK dan UU Pengelolaan Keuangan Negara yang menyertakan wewenang PDTT adalah konstitusional karena merupakan bagian dari penguatan fungsi BPK, agar pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan terbuka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keterangan tersebut disampaikan Andi Mattalatta selaku Ahli yang dihadirkan Badan Pemeriksa Keuangan (Pihak Terkait) dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) pada Selasa (18/2/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XVII/2019 diajukan Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II) serta Kexia Goutama (Pemohon III). Para Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih jelas Andi menerangkan bahwa usai dilakukannnya amendemen UUD 1945 maka tidak ada lagi lembaga yang tidak ada kontrol dalam pelaksanaan kewenangannya. Pembatasan kewenangan setiap lembaga negara merupakan wujud pengelolaan negara modern yang dianut UUD 1945. Demikian juga dengan BPK, sambung Andi, bahwa fungsi pengawasan dan pengelolaan keuangan negara pada awalnya bukanlah hal yang penting. Namun, semangat pengelolaan yang harus terbuka dan bertanggung jawab, maka instituisi pengawas dan pemeriksaannya pun harus ditingkatkan posisi, fungsi, dan perannya, termasuk pula dengan BPK itu sendiri. “Maksudnya, agar ada jaminan pengelolaan keuangan negara dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” terang Andi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Keuangan Negara Bocor
Selanjutnya, Andi mencermati bahwa setelah pembahasan tiga tahun masa sidang tentang BPK menunjukkan bahwa pembuat undang-undang telah memberi perhatian serius tentang fungsi BPK dalam pengelolaan keuangan negara agar terlaksana dengan baik. Adanya semangat meningkatkan fungsi ini, lanjut Andi, dipengaruhi juga oleh banyaknya kebocoran penggunaan keuangan negara pada masa itu. Sehingga, peningkatan posisi, fungsi, dan peran BPK diwujudkan dalam beberapa hal. Di antaranya, pertama terkait dengan kewenangan BPK. Pada awalnya, kewenangan BPK terdapat pada bagian dari keuangan negara tentang keuangan negara, maka setelah amendemen dibuat bab tersendiri. Kedua, BPK bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga, BPK adalah satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. Dengan kata lain, dengan bentuk lembaga tunggal ini konsekuensinya BPK pun memangku kekuasaan tunggal dalam merumuskan pemeriksaan tentang keuangan negara. “Dalam undang-undangnya ditegaskan satu badan, bukan suatu badan pemeriksa keuangan. Dalam hal ini termasuk pemeriksaaan yang bersifat rutin dan pemeriksaan bersifat khusus sesuai kaidah pengelolaan keuangan negara,” tegas Andi.
Fungsi Mencegah
Berikutnya Andi mengulas pula bahwa pada masa sebelum amendemen UUD 1945, pengelolaan keuangan hanya mencakup pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara. Setelah amendemen UUD 1945 maka memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ini berkaitan dengan keuangan yang dibuat pemerintah. Sehingga BPK tidak hanya memeriksa keuangan negara yang disajikan dalam sebuah laporan keuangan negara, tetapi juga aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. “Jika awalnya hanya post audit, maka setelah amendemen pemeriksaan itu juga dilakukan mulai dari proses anggaran. Maksudnya, agar BPK tidak hanya memeriksa setelah kerugian terjadi, tetapi juga mencegah terjadinya permasalahan pengelolaan keuangan negara,” sampai Andi.
Dalam sidang terdahulu, Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah ditetapkaannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa PDTT. Sehingga menurut para Pemohon, kewenangan tambahan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pemohon juga menyampaikan PDTT yang dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan bahwa sidang hari ini merupakan sidang pemeriksaan terakhir terhadap perkara Nomor 54/PUU-XVII/2019. (Sri Pujianti/tir/NRA).