JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasal 72 dan Pasal 143 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengakibatkan para Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berpotensi sewaktu-waktu menjadi tersangka atau terdakwa tidak mendapatkan kepastian hukum terhadap apakah pemberian berkas perkara terhadap tersangka atau terdakwa merupakan hak negatif yakni hak atas dasar permintaan tersangka atau terdakwa ataukah kewajiban bagi penuntut umum. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ibnu Fajar Rahim, salah satu Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XVIII/2020 pada Kamis (13/2) di ruang sidang MK.
Pemohon lainnya yakni Sandhy Handika dan Danang Yudha Prawira. Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya menyatakan setiap perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke persidangan, maka saat bersamaan penuntut umum wajib memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan dan berkas perkara kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik untuk semua jenis perkara.
“Sedangkan Pasal 72 KUHAP dan penjelasannya pada pokoknya menyatakan adanya haktersangka atau penasihat hukum untuk meminta turunan berita acara pemeriksaan tersangka pada tingkat penyidikan, berkas perkara dan surat dakwaan pada tingkat penuntutan serta berkas perkara termasuk putusan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan,” kata Ibnu Fajar.
Apabila ketentuan Pasal 72 dan Penjelasan Pasal 72 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP, menurut para Pemohon, terdapat antinomi antara Pasal 143 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 143 KUHAP yang menjelaskan kewajibanbagi penuntut umum (hak positif bagi tersangka) memberikan turunan surat pelimpahan perkara serta surat dakwaan termasuk berkas perkara kepada tersangka atau penasihat hukumnya dan penyidik pada saat bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri, dengan Pasal 72 dan Penjelasan Pasal 72 KUHAP yang menyatakan hak negatif tersangka atau penasihat hukum meminta turunan berita acara pemeriksaan termasuk berkas perkara untuk kepentingan pembelaannya.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati sistematika permohonan Pemohon yang tidak lazim. Sistematika pendahuluan, kedudukan hukum, kewenangan Mahkamah dan seterusnya terkesan seperti sistematika penyusunan tesis.
“Di samping itu para Pemohon juga harus menguraikan kerugian konstitusional yang dialami, baik kerugian faktual maupun potensial. Namun dalam permohonan hanya dijelaskan kerugian secara potensial,” jelas Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar para Pemohon banyak mempelajari UU MK maupun Peraturan MK serta contoh-contoh permohonan yang dibuat para Pemohon yang berperkara di MK.
Sedangkan Ketua Panel, Aswanto menilai sistematika permohonan masih harus diperbaiki dan meminta menghilangkan bagian pendahuluan. Termasuk juga ada kesalahan penulisan “petitum” jadi “petita”. Selain itu, Aswanto menasehati para Pemohon agar lebih memperjelas dan menguraikan posita lebih detail. (Nano Tresna Arfana/tir/NRA)