JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dimiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan bagian dari tugas pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Karena metode pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan hal lain di luar bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Hal ini menunjukkan PDTT bukan hanya terkait pemeriksaan investigatif, melainkan bagian dari beberapa metode pemeriksaan yang dimiliki oleh BPK.
Hal tersebut disampaikan oleh Binsar H. Simanjuntak selaku Ahli Akuntansi Keuangan Negara dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan UU Pengelolaan Keuangan Negara. Sidang kedelapan yang mengagendakan mendengar keterangan Saksi dan Ahli ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (6/2/2020). Sidang perkara Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II), yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa. Para Pemohon menganggap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih jauh Binsar menguraikan pemeriksaan selain investigatif, di antaranya pemeriksaan ketaatan, teknologi informasi, pajak, dan pemeriksaan khusus untuk perhitungan kerugian negara. “Jadi, pemeriksaan investigatif itu hanya salah satu dari PDTT saja,” terang Binsar di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Binsar menguraikan PDTT mempunyai kejelasan atas tujuan, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas berbagai asersi atau berupa pernyataan yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini pun dilaksanakan secara independen serta disampaikan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga pengaturan adanya jenis PDTT seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU Pengelolaan Keuangan Negara dan Pasal 6 UU BPK adalah sudah tepat. “Bahwa seandainya PDTT ini dihapus, maka ini bisa memungkinkan hilangnya hak konstitusional rakyat atas dicabutnya PDTT,” ujar Binsar.
Berikan Keyakinan Memadai
Selanjutnya, berkaitan dengan entitas yang telah mendapatkan opini WTP masih dilakukan PDTT oleh BPK, Binsar berpendapat bahwa hal tersebut bukan hal yang mengherankan. Karena setiap pemeriksaan memiliki ciri-ciri khas masing-masing dan tidak akan overlapping. Jadi pada prinsipnya, sambung Binsar, pemeriksaan keuangan tujuannya memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan pemerintah telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, termasuk pula PDTT. Sehingga PDTT yang dilakukan BPK, merupakan bagian dari kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ada Kepastian Hukum
Binsar menyimpulkan bahwa frasa “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” memiliki kejelasan tujuan dan rumusan yang mengandung kepastian hukum sehingga dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang disusun oleh BPK, setelah mendapat masukan dari profesi akuntan atau akuntan publik dan juga pengawas yang lain, serta hasil konsultasi dengan pemerintah. Kemudian, untuk meminimalisasi potensi abuse of power atas PDTT, maka harus berpedoman pada SPKN, sistem kendali mutu, dan kode etik.
Pemohon menyatakan secara keilmuan, Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah ditetapkaannuya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa PDTT. Sehingga kewenangan tambahan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ditambah pula bahwa PDTT kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya, terjadi potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku.
Pada penghujung persidangan, Anwar mengatakan bahwa persidangan berikutnya akan digelar pada Selasa, 18 februari 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan Keterangan Ahli Pihak Terkait atau BPK. (Sri Pujianti/Tiara/LA)