JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disahkan, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sehingga saat dasar hukum kelembagaan penyelenggara pemilu berganti, maka segala peraturan perundang-undangan yang merujuk pada pengaturan lembaga pengawas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (sebagaimana diatur dalam UU Pilkada) seharusnya menyesuaikan pula dengan pergantian yang terjadi dalam norma tersebut.
Demikian ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Sidang Pengucapan Putusan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Dalam perkara yang dimohonkan Surya Efitrimen, Nursari, dan Sulung Muna Rimbawan ini, disebutkan bahwa Pasal 1 angka 17 frasa panwas kabupaten/kota, Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) frasa masing-masing beranggotakan 3(tiga) orang, Pasal 24 ayat (1) UU serta seluruh pasal UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih jelas Saldi menguraikan bahwa ketika UU Pilkada yang mengatur lembaga pengawas pemilihan adalah pengawas pemilu sebagaimana diatur UU Pemilu tidak disesuaikan dengan perubahan nomenklatur pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota, hal ini akan berakibat terjadinya ketidakseragaman pengaturan dalam penyelenggaraan fungsi pengawasan terutama dalam pemilihan kepala daerah. Ketidakseragaman tersebut, sambung Saldi, dapat berdampak pula pada munculnya dua institusi pengawas penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupaten/kota dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Padahal, kelembagaan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU 7/2017 adalah lembaga yang diberi status atau sifat tetap (permanen) hingga di tingkat kabupaten/kota. Sementara UU Pilkada justru mengatur pembentukan, nomenklatur, dan sifat yang berbeda terhadap lembaga pengawas dalam pemilihan kepala daerah,” kata Saldi membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019 dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/1/2020) di ruang sidang Pleno MK.
Perubahan Sangat Penting
Saldi menjabarkan bahwa dengan terjadinya perubahan kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota berdasarkan UU Pemilu, maka hal tersebut tidak hanya berdampak terhadap kedudukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu, melainkan juga dalam menyelenggarakan pengawasan pemilihan kepala daerah. Dengan arti kata, dengan adanya tugas dan wewenang Bawaslu mengawasi pemilihan kepala daerah sesuai UU Pilkada, perubahan kelembagaan Bawaslu melalui UU Pemilu dengan sendirinya berlaku pula dalam pelaksanaan Pilkada. Sehingga penyesuaian terhadap perubahan dimaksud dalam UU Pilkada menjadi sangat penting.
Selama tidak dilakukan penyesuaian kelembagaan pengawas pemilihan tingkat kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU Pilkada dengan perubahan dalam UU 7/2017, hal ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum keberadaan lembaga pengawas pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota. Bahkan, jelas Saldi, sebagaimana telah dinyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, maka sesuai dengan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945, struktur penyelenggara pemilihan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD, dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda.
“Dengan pertimbangan hukum sebagaimana dikemukakan, dalil para Pemohon yang menyatakan norma pasal-pasal a quo dalam UU Pilkada sepanjang frasa “Panwas Kabupaten/Kota” tidak dimaknai menjadi frasa “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota” bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum,” tegas Saldi.
Pembentukan Panwas
Sehubungan dengan wewenang pembentukan Panwas Kabupaten/Kota oleh Bawaslu dalam UU Pilkada, Saldi menyebutkan pula bahwa Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi dan menjadi salah satu tahapan persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Mahkamah berpendapat bahwa kelembagaan Panwaslu Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota yang proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu. Maka definisi Panwas Kabupaten/Kota dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada, yang masih mencantumkan frasa “dibentuk oleh Bawaslu Provinsi” harus juga disesuaikan. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, terang Saldi, Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan demikian semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai bagian dari tahapan persiapan Pilkada serta Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, maka alasan agar tidak terjadi ketidakpastian hukum harus pula dinyatakan inkonstitusional.
“Amar Putusan, mengadili, dalam Pokok Permohonan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebagai informasi bahwa dalam permohonannya, para Pemohon menilai sejumlah ketentuan pasal dalam UU Pilkada yang dimohonkan pengujian secara faktual dapat mengancam kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu. Para Pemohon secara faktual potensial tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan Pilkada karena desain kelembagaan yang dipersyaratkan dalam UU tersebut adalah Bawaslu RI ataupun Provinsi untuk membentuk suatu lembaga yang dinamakan Panitia Pengawas Pemilihan yang bersifat baru dan berbeda, serta kelembagaan dengan Bawaslu kabupaten/kota yang kedudukannya saat ini telah permanen.
(Sri Pujianti/NRA)
https://youtu.be/iAHuW33mw28