JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/12/2019). Panel Hakim terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (Ketua), Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra (masing-masing sebagai Anggota).
Salah seorang kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVII/2019, Fadli Ramadhanil menyampaikan perbaikan permohonan sesuai nasihat Panel Hakim pada persidangan sebelumnya. “Pertama, terkait dengan klausul lengkap dari pasal yang kami ujikan. Karena ini adalah pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, yakni Pasal 1 angka 6. Klausul lengkapnya kami sudah masukkan dalam permohonan, yaitu pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam pemilihan dan yang kami uji adalah sepanjang frasa atau sudah /pernah kawin terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urai Fadli.
Berikutnya, ada perbaikan terhadap kedudukan hukum Pemohon II, yaitu Koalisi Perempuan Indonesia. “Terkait dengan kedudukan hukum Pemohon I, kami tidak bacakan lagi dan perbaikan ini kami anggap dibacakan. Kedudukan hukum dari Pemohon II, kami sampaikan perbaikan untuk beberapa poin yaitu pada halaman 8, Poin 10. Keberadaan organisasi Pemohon II sudah banyak sekali melakukan upaya, mulai dari pelatihan, pendampingan, pendidikan, dan pengkajian untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, serta melindungi hak-hak perempuan untuk mencapai visi kelembagaannya,” ungkap Fadli.
Dikatakan Fadli, kedudukan hukum Pemohon II telah diterima dalam Perkara Nomor 20/PUU-XI/2013 tentang uji Materi Pasal 56, Pasal 215 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Terkait tindakan khusus sementara jaminan keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum, Pemohon II diwakili oleh Saudari Dian Kartikasari sebagai Sekretaris Jenderal dan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon II memiliki kedudukan hukum dalam perkara tersebut dan untuk pokok perkara permohonan dikabulkan oleh Mahkamah untuk seluruhnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diwakili oleh Titi Anggraini Direktur Eksekutif (Pemohon I) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) diwakili oleh Dian Kartikasari Sekretaris Jenderal (Pemohon II). Para Pemohon menguji Pasal 1 angka 6 frasa “atau sudah/pernah kawin” UU No. 8/2015. Bahwa Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan.
Para Pemohon mendalilkan bahwa proses pendaftaran pemilih adalah satu tahapan paling penting dalam pemilihan kepala daerah yang juga mesti dipastikan prosesnya berlangsung secara jujur dan adil. Salah satu bentuk keadilan yang tercermin dalam proses pendaftaran pemilih adalah memberikan kesempatan yang sama, dan tidak ada perlakuan yang berbeda kepada setiap warga negara untuk bisa terdaftar sebagai pemilih, agar kemudian mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan pilihan politiknya secara langsung dalam pemilihan kepala daerah.
Menurut Pemohon, keberlakuan syarat “atau sudah/pernah kawin” sebagai syarat bagi warga negara bisa didaftar sebagai pemilih, disebabkan pilihan untuk kawin dianggap sebagai salah satu ukuran kedewasaan seseorang manusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia perkawinan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diberikan batasan usia 19 tahun, sedangkan perempuan diberikan batasan usia minimal 16 tahun.
Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 dilakukan perubahan materi UU Nomor 1/1974 khususnya ketentuan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan yaitu batas usia perkawinan minimal 19 tahun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Nano Tresna Arfana/LA)